MAKI Soroti Pasal Suap Hakim yang Raib dari Rencana Dakwaan Andi Irfan

0

Pelita.online – Kejaksaan Agung (Kejagung) tak jadi mempersangkakan orang dekat Pinangki Sirna Malasari (PSM), Andi Irfan Jaya, dengan pasal dugaan pemberian suap kepada hakim dalam pusaran kasus Djoko Tjandra. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyayangkan keputusan ini.

“Saya menyatakan kecewa dan menyayangkan hilangnya pasal 6 dalam surat dakwaan AIJ. Dan juga dalam satu rangkaian juga dengan PSM karena itu pengertiannya kan apapun proses terhadap Djoko Tjandra itukan permohonan fatwa, fatwa itukan produk dari sebuah institusi yang berkaitan dengan hakim, nah pasal 6 itu kan terkait dengan institusi hakim kan jadi mestinya itu tetap ditampilkan sampai di surat dakwaan,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Gedung Bundar Jampidsus, Selasa (27/10/2020).

Untuk diketahui, Andi Irfan sejatinya dijerat pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor). Terkait hal ini, Boyamin menilai bahwa semestinya pasal ini tetap dipersangkakan setidaknya di dalam surat dakwaan sehingga perkara ini dapat berlanjut pada tahapan persidangan.

“Setidakanya, minimal di penyidikan dulu juga sudah pasti ada dalam dakwaan, sehingga nanti proses kalau di persidangan tidak bukti pada saat penuntutan dinyatakan tidak terbukti, kan gitu,” tuturnya.

Ia pun meminta agar penyidik terus bekerja dalam menelusuri dan mencari alat bukti yang mendukung pasal ini sebelum dakwaan resmi dipaparkan. Selain itu, lanjut Boyamin, semestinya penyidik turut meminta keterangan dari oknum hakim yang ada pada action plan yang dibuat Pinangki.

“Karena sudah berani declare waktu di penyidikan pasal 6 itu sudah ada. Dan apapun ini kan pengurusan fatwa kan mestinya kan gitu jadi justru ini mestinya pada saat penyidikan itulah tugasnya kejaksaan agung ini mencari terkait dengan komunikasi, terkait jejak-jejak dan alat bukti,” jelasnya.

“Penyidikan itukan membuat terang perkara dan juga mencari alat bukti yang lebih lengkap disitulah mestinya. Belum dilakukan penyidikan, dicoba dilacak segala macam ditanya beberapa orang terkait pernah ada dimuat di sebuah media massa majalah itu paling nggak yang bersangkutan (oknum hakim) diundang sebagai saksi. Soal dia membantah itu urusan lain kan dirangkai dengan peristiwa yang lain. Seharusnya begitu. Jadi terus terang saja mestinya pasal 6 ini tetap ikut dalam proses karena ini kalau tiba-tiba dalam sidang muncul sudah tidak bisa diproses lagi karena bisa ne bis in idem. Jadi itu yang menyayangkan,” sambungnya.

Selain itu, MAKI turut mengkritisi pemilihan pasal sangkaan yang menjerat jaksa Pinangki Sirna Malasari dinilai kurang tepat. Menurut Boyamin, Pinangki seharusnya dijerat pasal 12 huruf a Undang-Undang Tipikor karena akan lebih membuka peluang penyidikan yang lebih luas terhadap pihak lain.

“Kalau pasal 5 itukan hanya PNS yang menerima duit, titik. Nah pasal 12A itukan PNS yang menerima duit untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangannya. Padahal ini kan oknum jaksa PSM ini kan seharusnya mengeksekusi Djoko Tjandra tapi malah membantu lepas. Nah kalau pasal 12A itu diterapkan maka pihak-pihak lain yang diduga terlibat juga bisa ikut terseret. Kalau dengan pasal 5 itu ya selesai cukup itu saja membuktikan Pinangki dapat duit, ya udah selesai dari pihak lain. Nggak usah perlu dicari motifnya atau apa,” jelasnya.

“Jadi dengan pasal 6 hilang, pasal 12 tidak diterapkan ini memang untuk melokalisir supaya tidak merebak kemana-mana ada patut diduga yang dilindungi. Itu saja. Dan saya akan minta Komisi Kejaksaan untuk mengaudit,” sambungnya.

Diberitakan sebelumnya, dalam perkara ini Andi Irfan dijerat bersama-sama dengan Pinangki Sirna Malasari. Saat ditetapkan sebagai tersangka, Andi Irfan dijerat salah satunya adalah Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor).

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah mengatakan pasal itu tidak disangkakan kepada Andi Irfan setelah didiskusikan dengan jaksa penuntut umum (JPU). Hasilnya, JPU menilai pasal itu tidak tepat ditujukan kepada Andi Irfan.

“Pasal 6 tidak ada. Karena kan diskusi ketika dengan penuntut umum, dia tidak pas dengan sangkaan pasal itu. Jadi jika ada petunjuk dari teman-teman JPU ya pasti kita kuatkan apa yang di cari lagi alat buktinya,” kata Febrie kepada wartawan di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (14/10/2020).

Senada dengan Febrie, Jampidsus Kejagung Ali Mukartono membantah pihaknya telah menghapus Pasal 6 ayat (1) a untuk menjerat Andi Irfan. Menurut Ali, pasal itu disangkakan pada dugaan awal penyidikan. Sementara dalam perjalanannya, fakta penyidikan tidak membuktikan itu.

“Bukan dihapus. Jadi penyidikan itu kan dugaan, kalo hasil penyidikan itu sudah pendapat penyidik bisa sama bisa tidak, terserah penyidik itu, otoritasnya itu. Bukan dihapus, bukan, tidak. Hasilnya seperti apa, nah yang sesuai dengan fakta penyidikan itu yang dicantumkan dalam berkas perkara, biasa itu,” kata Ali.

“Kalau tidak ada bukti untuk apa, kalau ada bukti silakan kan gtu, kalau tidak ada untuk apa juga, bikin capek, mubazir nanti,” imbuhnya.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY