Mengenal Pencabutan Hak Politik, Hukuman Anas Urbaningrum Usai Bebas

0

pelita.online – Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bebas dari penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa barat pada hari ini, Selasa (11/4).
Anas sudah mendekam di penjara selama delapan tahun karena divonis bersalah dalam kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang 2010-2012.

Meski bebas, Anas harus menerima hukuman pidana lain berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak selesai menjalani pidana pokok.

Pencabutan hak untuk dipilih dari jabatan publik selama lima itu merupakan hukuman pidana tambahan bagi Anas usai Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Anas pada 2020 lalu.

Di tingkat PK, Anas dijatuhi hukuman selama delapan tahun penjara ditambah denda dan hak politiknya dicabut.

Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda berpendapat Anas masih bisa menjadi pengurus partai politik meski dicabut hak politiknya selama lima tahun.

Ia menjelaskan hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak politik sekadar mencabut hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Dia menilai tak ada persoalan ketika narapidana bergabung sebagai pengurus parpol meski hak memilih dan dipilihnya telah dicabut.

“Pencabutan hak politik itu hanya pencabutan hak memilih dan dipilih. Kalau jadi pengurus parpol tak masalah. Tapi bukan halangan dia jadi pengurus partai,” kata Chairul kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/4).

Senada, Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai diktum putusan MA hanya tak memperbolehkan Anas untuk mengisi jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat selama lima tahun.

“Jadi secara normatif, hak politik dimaknai sebagai jabatan-jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat (official elected),” kata Herdiansyah.

Herdiansyah menganggap norma dalam putusan MA soal pencabutan hak politik Anas tidak eksplisit melarang aktivitas dalam partai politik.

Meski demikian, ia menilai mantan terpidana yang hak politiknya dicabut tidak diberikan posisi strategis dalam partai lantaran terkait secara etika politik.

“Cukup sebagai simpatisan. Ini untuk menjaga moralitas publik,” kata dia.

Di Indonesia terdapat daftar panjang terpidana kasus korupsi yang dicabut hak politiknya. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 lalu merinci hak politik 26 koruptor sudah dicabut demi mencegah praktek korupsi selanjutnya.

Terdakwa korupsi yang dicabut hak politiknya antara lain mantan Ketua DPR Setya Novanto selama lima tahun, Bupati nonaktif Kutai Kartanegara Rita Widyasari selama lima tahun, Wali Kota nonaktif Kendari Adriatma Dwi Putra dan mantan Wali Kota Kendari Asrun selama dua tahun.

Kemudian mantan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi selama lima tahun, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam selama lima tahun, hingga mantan Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif selama tiga tahun.

Terbaru, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dijatuhi vonis tambahan pencabutan hak politik selama dua tahun. Kemudian, terdapat nama mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang dicabut hak politiknya selama 4 tahun.

Nama mantan Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin dicabut hak politiknya selama lima tahun.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY