Pasal penghinaan presiden hidupkan kembali era otoriter

0

Jakarta, Pelita.Online – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden masuk ke dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP). Aturan tersebut dinilai penting karena presiden dan wakil presiden dianggap sebagai simbol negara yang harus dijaga harkat dan martabatnya.

Pasal penghinaan presiden dan wapres diatur dalam dua pasal yakni 263 dan 264. Soal sanksi bagi para pelaku, masih jadi pembahasan. Semula ancaman maksimal yakni lima tahun, namun dari rapat terakhir pada Senin (5/2), diturunkan menjadi dua tahun saja.

Pasal ini menjadi perdebatan di kalangan pakar hukum dan pegiat demokrasi serta HAM. Apalagi pada Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal itu. Sehingga menuai perdebatan, alasan merancang kembali aturan tersebut.

Pakar Hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul merasa heran dengan keinginan pemerintah dan DPR yang kembali menyusun pasal penghinaan presiden dan wapres itu. Dia pun yakin MK dengan mudah membatalkan pasal itu kembali nantinya.

Chudry juga merasa ada yang janggal dengan alasan pemerintah dan DPR meloloskan pasal itu. Sebab, tidak sinkron dengan sistem negara Indonesia yang menganut demokrasi.

“Indonesia sekarang sudah menjadi negara yang demokratis, bahkan dalam beberapa sisi, Indonesia lebih liberal dibandingkan negara yang menghargai HAM, katakanlah Amerika. Sekarang kalau kita misalnya buat lagi pasal ini, berarti keinginan pemerintah dan DPR ingin mengembalikan lagi ke era yang pemerintahannya menganut sistem otoritarian lagi, kembali ke Orde Baru,” kata Chudry saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (6/2).

Chudry pun menilai tak masuk akal dengan alasan kehormatan presiden dan wakil presiden harus dilindungi dengan pasal ini. Dia mengatakan, wajar saja jika presiden dan wakil presiden dikritik oleh rakyatnya. Apalagi sistem kita yang mengatur bahwa presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat. Tapi jika kritik yang disampaikan bernada mencemarkan, atau merendahkan pribadi, maka itu sudah diatur dengan pasal pencemaran nama baik.

Dia mencontohkan seperti yang dilakukan oleh Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, SBY tidak terima diibaratkan seperti seekor hewan, oleh karena itu SBY melaporkan sebagai pribadi orang tersebut.

Dia khawatir pasal ini justru dibuat untuk membungkam demokrasi. Presiden dan wakil presiden bisa dengan seenaknya melaporkan para pendemo yang mengkritik pemerintah.

“Kalau ada pandangan yang mengatakan presiden harus dilindungi kehormatannya, sekarang kehormatan itu bagaimana? Relatif sekali, kecuali merendahkan martabat presiden, nah itu personnya, bukan lembaga presidennya. Kalau orangnya merasa misalnya si X, laporkan dia sebagai pribadi, tapi kalau lembaga kepresidenan harus menerima kritik, katakanlah itu sebagai kontrol dari masyrakat atau publik,” kata dia.

Dalam RKUHP, Pasal 263 ayat (1) berbunyi ‘Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV’.

Lalu ayat (2) Pasal 263 berbunyi ‘Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri’.

Kemudian di pasal 264 berbunyi, ‘Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana tekonologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar pasal penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV’.

Chudry lagi-lagi menekankan, sistem demokrasi mengharuskan rakyat memilih langsung sang presiden. Sehingga mau tidak mau presiden pun harus menerima kritikan dari rakyatnya. Kecuali, kata dia, kalau sistem pemilihan presiden melalui MPR, maka pasal penghinaan presiden mungkin saja menjadi masuk akal diterapkan di Indonesia.

“Kalau kita ikuti dari pemerintah, perlu pasal ini untuk menjaga kehormatan presiden, dijaga, dilindungi enggak bisa diguyo-guyo, dikritik habis-habisan, mesti ada perlindungan kepada presiden. Betul konsepnya, tapi itu tadi, kalau misal itu mengkritik kebijakan, presiden dikatakan jelek misalnya, laporkan saja, saya terhina, lapor dengan pasal penghinaan. Tapi memang kalau misalnya penghinaan pribadi itu ancaman hukuman hanya maksimal 9 bulan dan waktu orang dilaporkan, polisi enggak bisa langsung tahan, karena ancaman 9 bulan, sedangkan kalau mau ditahan harus lima tahun atau lebih,” kata Chudry.

Wapres Jusuf Kalla (JK) setuju dengan pasal penghinaan presiden dan wapres diatur dalam RKUHP. JK membandingkan kasus penghinaan terhadap hewan peliharaan raja di Thailand yang bisa kena pidana. Namun Chudry langsung membantah logika JK.

Menurut dia, Thailand dan Indonesia tak bisa disamakan. Apalagi Thailand menganut sistem kerajaan sementara Indonesia sistem demokrasi seperti di Amerika.

“Lain dong, di sana kan negara kerajaan, di sini kita negara yang merdeka demokrasi, beda dong, kita cita-citanya sama dengan Amerika. Kalau di Amerika digambarin kayak apa (presiden dan wapresnya) juga enggak apa apa. Lain dong negara kerajan sama Republik demokratis seperti Indonesia,” tegas Chudry.

Sehingga dia yakin bahwa pasal penghinaan pada presiden akan langsung dibatalkan MK jika ada yang menggugat setelah disahkan oleh DPR nantinya. Dia juga merasa heran dengan para aktivis reformasi yang berada di gedung DPR, secara langsung terlibat menggulingkan Soeharto malah setuju dengan pasal ini.

“Nanti di dalam pemilu bilang saja enggak usah pilih partai ini, dia tidak menganggap kedaulatan rakyat, tidak demokratis,” kata Chudry mengajak tak pilih partai yang mendukung pasal penghinaan presiden dan wapres ini.

Diberitakan sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) setuju dengan dihidupkannya kembali pasal penghinaan Presiden dan wakil presiden. Dia menjelaskan, terdapat aturan di Thailand yang menghina raja dan anjingnya bisa dihukum.

“Presiden lambang negara, kalau menghina lambang negara. Di Thailand menghina anjing raja saja bisa dituntut,” kata JK di Kantornya, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (6/2).

Dia menjelaskan, seseorang yang mengkritik memiliki dasar. Oleh karena itu, dia meminta agar pasal tersebut dibuat tapi harus jelas aturan mainnya, tidak jadi pasal karet.

“Dibuatlah, jangan karet. Jadi kalau mau kritik, kritik saja. Tapi ada buktinya, ada dasarnya, yang menghina tidak ada dasarnya,” kata JK.

“Katakanlah ‘oh Presiden itu PKI’, dasarnya apa? Karena itu anda (misal) kalau saya katakan anda PKI, anda bisa tuntut saya kan, apalagi presiden. Contohnya itu,” tambah JK.

 

merdeka.com

LEAVE A REPLY