Pasokan Cabai yang Stabil

0

Pelita.online – Inflasi, kecenderungan naiknya harga barang dan jasa yang pada umumnya berlangsung secara terus-menerus, menjadi indikator stabilitas perekonomian suatu negara. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai badan yang berwenang mengeluarkan angka inflasi mengukur tingkat inflasi melalui indikator berupa Indeks Harga Konsumen (IHK).

Dalam perilisan nilai IHK/Inflasi pada September 2019, Kepala BPS Kecuk Suhariyanto menyebutkan bahwa pada September terjadi deflasi sebesar 0,27 persen dengan penyumbang tertinggi berasal dari kelompok bahan makanan. Sebelas bahan makanan yang tercatat dalam penghitungan IHK, sembilan di antaranya mengalami deflasi sedangkan dua lainnya mengalami inflasi. Komoditas yang menyumbang deflasi terbesar yaitu cabai merah.

Cabai merah mengambil peran yang penting dalam pembentukan nilai inflasi Indonesia. Dilansir dari Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis BPS terkait dengan IHK Agustus 2019, terjadi inflasi sebesar 0,21 persen dengan sumbangan inflasi 0,10 persen dari bahan makanan sebagai dampak kenaikan harga cabai merah. Apabila dirunut lebih jauh lagi, inflasi April 2019 sebesar 0,31 persen juga mendapat sumbangan inflasi 0,20 persen dari cabai merah sebagai salah satu komoditas bahan makanan.

Fluktuasi
Cabai merah terus mengalami fluktuasi produksi mulai dari tahun 1980 hingga kini. Tercatat pada publikasi outlook cabai yang dirilis Kementerian Pertanian pada 2016, pertumbuhan produksi cabai selama 2011 hingga 2015 mencapai kenaikan lebih dari 10 persen. Hal ini tentunya seiring dengan luas panen cabai yang terus meningkat hingga lebih dari 5 persen.
Sepanjang 1980 hingga 2015 produksi cabai tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan lebih dari sembilan persen pada tiap tahunnya. Data terakhir pada publikasi outlook cabai mencatat, produksi cabai pada 2015 hampir mencapai dua ribu juta ton. Tingginya angka produksi ini ditunjang oleh tingginya produksi pada sentra-sentra produksi cabai di Indonesia yang menunjang hampir 80 persen total produksi cabai merah di Indonesia.
Sentra produksi cabai ini tidak hanya meliputi pulau Jawa, ada Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Bengkulu Besar. Sebagai penyumbang produksi cabai terbesar, Jawa Barat mencapai total produksi cabai lebih dari 200 ton pada 2015. Harga cabai yang menjanjikan dan perannya yang dibutuhkan masyarakat luas membawa cabai menjadi komoditas yang menggiurkan bagi petani.
Peranan cabai yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS. Menurut hasil Susenas 2002 hingga 2015, konsumsi cabai tiap orang atau per kapita relatif stabil dengan laju pertumbuhan 0,44 persen pada tiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa cabai sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia.
Melimpahnya produksi cabai ini tidak serta merta dialokasikan menjadi bahan makanan. Menurut perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM), pada 2002 hingga 2014 lebih dari 99 persen hasil produksi cabai digunakan untuk bahan makanan, sedangkan sisanya untuk bibit dan olahan non-makanan.
Harga dan Pasokan
Harga selalu berkaitan dengan jumlah ketersediaan akan suatu komoditas. Dalam hukum ekonomi, kenaikan harga pasar akan turut menurunkan kuantitas permintaan dan menaikkan kuantitas penawaran. Berdasarkan data yang dirilis BPS, harga cabai merah di tingkat produsen dan konsumen sejak 1983 hingga 2014 terus mengalami kenaikan, dengan kenaikan harga lebih dari 12 persen per tahun untuk tingkat produsen dan lebih dari 16 persen per tahun untuk tingkat konsumen.

Perbedaan ini menunjukkan banyaknya tangan pengelolaan cabai merah hingga menghasilkan margin yang cukup besar antara harga produsen dengan harga konsumen. Sepanjang sejarah harga cabai, margin terbesar terjadi pada 2012 yaitu sebesar Rp 35.712,11/kg.

Ketersediaan pasokan cabai tentu tidak hanya bergantung pada harga yang dibuat pasar. Pertumbuhan tanaman cabai yang memerlukan dukungan alam juga mempengaruhi jumlah produksi cabai merah di Indonesia. Sebagai komoditas yang cocok ditanam di tanah kaya humus, gembur dan sarang, serta tidak tergenang air, waktu tanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret-April).

Keterbatasan musim yang dewasa ini tidak lagi dapat diprediksi membawa masalah yang pelik untuk ketersediaan pasokan cabai di Indonesia. Inflasi pada Juli dan Agustus 2019 lalu seolah menjadi bukti bagaimana faktor alam sangat mempengaruhi pasokan cabai di Indonesia. Hanya ada empat dari sembilan sentra produksi cabai di Jawa Tengah dan DIY yang tidak terpengaruh oleh musim kemarau yang berkepanjangan. Inilah penyebab melonjaknya harga cabai merah pada Juli dan Agustus 2019. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang masih terus diupayakan menahan konsentrasi distribusi pasokan cabai merah hanya berfokus di Pulau Jawa.
Jawa Barat
Tiga tahun berturut-turut, mulai 2013 hingga 2015 Jawa Barat menjadi provinsi nomer satu dalam produksi komoditas cabai. Menurut data Angka Tetap Holtikultura 2015, terdapat enam kabupaten/kota yang menjadi sentra produksi di Jawa Barat, yaitu Garut sebagai sentra produksi utama, disusul Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Majalengka. Pada 2015, Garut mencapai lebih dari 75 ribu ton produksi cabai atau sekitar lebih dari 30 persen produksi cabai di wilayah Jawa Barat.

Menurut data dalam laman Portal Informasi Harga Pangan, pada minggu pertama Oktober 2019 mencapai harga rata-rata Rp 42.952,00/kg dengan harga tertinggi di daerah Bogor yaitu Rp 55.000,00/kg dan terendah di Kota Cirebon Rp 27.000/kg. Harga ini sudah jauh menurun dibanding harga Juli dan Agustus. Berdasarkan data parsial menurut tiap sentra, Kabupaten Bandung telah mengalami kenaikan harga cabai merah sebesar lebih dari 20 persen pada Agustus 2019. Kenaikan yang lebih ekstrem terjadi di Kabupaten Ciamis yang naik lebih dari 6 persen pada Agustus menjadi Rp 86.667,00/kg.

Tidak Elastis
Perjalanan produksi cabai yang terus berdampak pada inflasi maupun deflasi yang terjadi di Indonesia mengindikasikan betapa pentingnya komoditas cabai untuk perkembangan perekonomian Indonesia. Kebutuhan masyarakat Indonesia atas konsumsi cabai menjadikan cabai seolah-olah barang yang tidak elastis terhadap perubahan harga. Artinya seberapa pun harga komoditas itu berubah, permintaan akan akan terus stabil.

Oleh karena itu, perlu campur tangan pemerintah dalam mengatasi fluktuasi produksi yang nantinya juga akan mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia. Upaya-upaya yang bisa digunakan untuk mengatasi hambatan dalam produksi cabai, terutama cabai merah, yaitu melakukan penanaman di sepanjang musim, bantuan faktor produksi, dan pembangunan infrastruktur.

Dengan penanaman pada sepanjang musim akan meminimalisasi kemungkinan kosongnya pasokan. Bantuan faktor produksi setidaknya dapat membantu menekan biaya produksi sehingga lebih banyak lagi petani yang beralih menanam cabai. Pembangunan infrastruktur dapat lebih membantu distribusi pasokan cabai ke luar Pulau Jawa, sehingga tidak terjadi kelebihan pasokan di Pulau Jawa yang dapat menurunkan harga, ataupun kenaikan harga di luar Pulau Jawa karena kekurangan pasokan. Seluruh upaya ini tetap harus dikontrol untuk menjaga pasokan cabai yang stabil.
Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY