Pemerintah Bakal Cabut Aturan Lapor Surveyor Bagi Eksportir

0

Pelita.Online, Jakarta – Pemerintah akan mencabut ketentuan laporan dari lembaga surveyor bagi eksportir. Sebab, kebijakan ini kerap memperlambat proses ekspor, baik dari sisi durasi hingga biaya yang perlu dikeluarkan ketika melangsungkan survei sebelum kegiatan ekspor dilakukan.

Dalam tugasnya, surveyor biasanya ditunjuk langsung oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), seperti PT Superintending Company of Indonesia (Persero) atau Sucofindo. Surveyor bertugas untuk memastikan eksportir sudah mengantongi dokumen izin ekspor dan menaati ketentuan ekspor lainnya.

Namun, pada waktu yang sama, verifikasi syarat-syarat sebelum ekspor sejatinya juga dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu). Artinya, eksportir perlu melewati dua prosedural survei sebelum akhirnya bisa menjual produknya ke luar negeri.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan beberapa negara tujuan ekspor sebenarnya tidak memberlakukan ketentuan survei itu. Maka dari itu, Darmin menilai laporan surveyor ini perlu dicabut agar proses ekspor bisa lebih cepat dan memberi kontribusi lebih baik ke pertumbuhan ekspor nasional.

“Ada yang bilang surveyor ini untuk pencatatan, tapi saya bilang ya itu minta saja datanya (ke DJBC), kan kami bikin. Itu bisa di-link, harian malah datanya. Jadi, ini tidak perlu,” imbuh Darmin usai rapat koordinasi antar kementerian di kantornya, Kamis (24/1) malam.

Selain soal lembaga surveyor, Darmin bilang pemerintah juga akan mengurangi berbagai ketentuan larangan terbatas yang masih mempengaruhi kecepatan dan kemudahan ekspor.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan perubahan ketentuan ini akan dilanjutkan kementeriannya dengan mengubah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 46 Tahun 2014 soal Ketentuan Umum Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan.

“Kami akan berkoordinasi untuk mencabut Permendag terkait LS. Kami usahakan (perubahan Permendag) minggu depan dapat selesai,” katanya.

Menurut Enggar, ketentuan pencabutan syarat survei dari surveyor utamanya akan menyasar ekspor berbasis sumber daya alam, seperti komoditas mineral, batu bara, minyak mentah, dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO).

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan nantinya DJBC akan terbuka untuk memberikan notifikasi yang diperlukan terkait verifikasi syarat ekspor ke Kemendag. Selain itu, DJBC juga mengubah ketentuan verifikasi, yakni dari semula sebelum masuk pelabuhan, kini bisa setelah masuk pelabuhan.

“Misalnya ekspor kendaraan bermotor, kami berikan kemudahan silakan masuk ke pelabuhan dan menyampaikan pemberitahuan saat naik ke kapal. Ini berdampak positif bagi industri manufaktur,” terang dia.

Selanjutnya, DJBC juga akan memperbolehkan industri untuk menggunakan transportasi ‘borongan’ agar biaya ekspor bisa ditekan, sehingga produk yang dijual eksportir diharapkan bisa lebih kompetitif harganya. Kemudian, bila ada barang ekspor yang cacat sebelum proses pengiriman, maka eksportir tinggal menggantinya tanpa perlu masuk ke dokumen ekspor baru.

“Ini juga dapat mengurangi antrian barang dan kemacetan di pelabuhan, sehingga menekan dwelling time,” ujarnya.

Lebih lanjut Darmin berharap pemangkasan prosedural semacam ini bisa meningkatkan kinerja ekspor Indonesia. Sebab, pemerintah sangat bergantung pada peningkatan ekspor agar neraca perdagangan Indonesia tak lagi dirundung defisit yang dalam.

“Instrumen ini dibutuhkan segera untuk memperbaiki ekspor. Tapi soal defisit, nanti kami siapkan pembahasan lain, masih banyak,” tutur dia.

Di sisi lain, ia bilang pemerintah juga tengah mengkaji ketentuan syarat Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) bagi eksportir kayu dan produk turunan kayu, seperti furnitur. Hal ini cukup merepotkan eksportir, padahal sejatinya tidak menjadi syarat di beberapa negara tujuan ekspor.

Meski ketentuan ini kadang diminta beberapa negara karena ingin mendapat jaminan bahwa produk kayu yang digunakan ramah lingkungan dan bukan hasil deforestasi. Namun, keputusan soal syarat SVLK masih dibahas dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Kami kaji bisa tidak ini agar di hilirnya tidak diminta, terutama untuk furnitu. Bisa tidak di hulu saja, sedang kami pelajari dengan KLHK, tapi perlu waktu untuk bahas ini,” tandasnya.

CNN Indonesia

LEAVE A REPLY