Pengesahan RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Berisiko

0

Pelita.online – DPR dan pemerintah sudah sepakat Sabtu (3/10/2020) malam untuk mesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja, dan akan membawa ke rapat paripurna untuk disahkan tanggal 8 Oktober 2020.

“Saya kira pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mempercepat proses pengesahan ini walaupun pembahasan yang dilakukan tidak berkualitas dan menyerahkan semuanya kepada Peraturan Pemerintah (PP),” kata Sekjen Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar, Minggu (4/10/2020).

Menurut Timboel, walaupun hasil yang disepakati masih belum jelas mengingat banyak hal yang diserahkan ke PP (Peraturan Pemerintah). Terkait pasal 66, contohnya, anggota Baleg sepakat Pasal 66 UU 13 Tahun 2003 tidak diubah tetapi diserahkan pengaturannya ke PP. Seharusnya isi Pasal 66 tersebut tetap dicantumkan di UU Cipta Kerja sehingga jelas, tidak diintepretasikan lain di PP natinya. Kalau diserahkan ke PP maka akan terjadi interpretasi subyektif pemerintah terhadap isi pasal tersebut.

Demikian juga dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah minimum, proses PHK dan kompensasi PHK dan Jaminan Kehilangan Pekrjaan (JKP) juga diserahkan ketentuan detailnya ke PP. “Saya menilai seharusnya norma-norma yang terkait dengan hak konstitusional harus diatur di UU bukan di PP. Hak mendapatkan hidup yang layak, pekerjaan yang layak, dan jaminan sosial yang layak diimplementasikan dalam hubungan kerja (PKWT, outsourcing), upah minimum, proses PHK dan kompensasi PHK serta JKP, sehingga norma-norma tersebut diatur secara jelas di UU,” kata dia.

“Dan hal ini menjadi ranah DPR, bukan malah diserahkan ke pemerintah sendiri. Norma-norma tersebut diatur secara detail di UU 13 Tahun 2003, dan sekarang akan diatur secara detail di PP yang merupakan ranah pemerintah,” kata dia.

Tentunya dengan disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna nanti maka perlindungan terhadap pekerja akan semakin menurun.

PKWT dan outsourcing yang dibuka seluas-luasnya akan menyebabkan kepastian kerja bagi pekerja akan hilang. Setiap saat pekerja diperhadapkan pada perjanjian kontrak kerja yang tertentu waktunya. Demikian juga dengan dipermudahnya proses PHK maka kepastian kerja akan hilang. “Hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan didegradasi oleh UU Cipta Kerja ini,” kata Timboel.

Ia mengatakan, dengan PHK yang mudah dan lebih banyak maka JKP akan membantu para pekerja yang ter-PHK tersebut, dan ini akan memberatkan program JKP, sehingga pemerintah harus membantunya.

Demikian juga dengan diposisikannya upah minimum kabupaten/kota dengan kata “dapat” artinya bisa saja upah minimum kabupaten kota akan digantikan oleh upah minimum propinsi. “Sudah kita ketahui bersama bahwa upah minimum propinsi ditetapkan berdasarkan upah minimum kabupaten/kota yang paling rendah. Ini artinya di Kota Bekasi akan diterapkan upah minimum kabupaten Ciamis yang nilainya sekitar Rp 2 juta per bulan, jauh lebih rendah dibandingkan upah minimum kota Bekasi saat ini sebesar Rp 4,6 juta per bulan,” kata dia.

Dengan diterapkannya upah minimum propinsi maka daya beli pekerja akan menurun, dan ini merupakan negasi amanat konstitusi yang mengamanatkan hak mendapatkan kehidupan yang layak.

Menurut Timboel, selain itu dengan daya beli yang menurun maka konsumsi agregat akan menurun sehingga perputaran barang dan jasa akan tersendat karena daya beli masyarakat menurun.

Ia mengatakan, pergerakan barang dan jasa menurun akan mempengaruhi investasi barang dan jasa tersebut, karena kalau diproduksi tidak laku ya buat apa diproduksi. Dengan tingkat konsumsi menurun maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

“Seperti kita ketahui konsumsi mengkontribusi 55 sampai 60% terhadap pertumbuhan ekonomi. Di satu pihak pemerintah sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi positif, sementara pemerintah memposisikan konsumsi melemah. Ini kebijakan kontradiktif,” kata dia.

Dengan upah minimum yang menurun, kata dia, maka iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan semakin menurun. Sementara itu iuran dari pekerja formal merupakan penyumbang kedua tertinggi pemasukan iuran JKN.

“Bila iuran dari pekerja formal menurun maka akan berpotensi menciptakan defisit JKN yang dikelola BPJS Kesehatan semakin besar. Bila defisit terjadi maka APBN harus menutupinya. Lagi lagi akan membebani APBN,” kata dia.

Menurut Timboel, tidak hanya iuran JKN yang menurun, tentunya iuran empat program jaminan sosial ketenagakerjaan yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun akan menurun juga.

Dengan menurunnya iuran jaminan sosial tersebut maka kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJamsostek) untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menurun sehingga dana untuk menambal defisit APBN pun berkurang. “Lagi-lagi APBN jadi korban,” kata dia.

Ia mengatakan, jadi disahkannya RUU Cipta Kerja ini khususnya klaster ketenagakerjaan merugikan pekerja, pengusaha dan pemerintah. “Saya berharap pemerintah dan DPR berpikir ulang untuk segera mensahkan RUU ini,” kata dia.

Memang tentunya Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dan pekerja/buruh akan menolak pengesahan RUU ini. “Saya menilai penolakan ini benar adanya dan patut didukung seluruh pekerja/buruh. Tentunya ada rencana mogok nasional dan demosntrasi nasional menolak RUU ini tetapi dalam kondisi Covid-19 saat ini yang penyebarannya semakin meningkat rencana mogok dan demo ini akan berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19 di kalangan pekerja/buruh. Ini sangat beresiko,” kata dia.

Dikatakan, resiko tersebut memang sudah dihitung oleh SP/SB namun sebaiknya ada hal lain yang bisa dilakukan untuk menolak RUU ini, untuk menghindari peningkatan Covid-19. “Jangan sampai mogok dan demo menyebabkan penyebaran Covid-19 dikalangan pekerja dan keluarga meningkat,” kata dia.

Timboel berharap, pemerintah dan DPR ikut bertanggung jawab penuh untuk menghindari terjadinya kenaikan penyebaran Covid-19 ini di kalangan pekerja/buruh. “Oleh karenanya pengesahan RUU ini harus ditunda, dan ajak kembali SP/SB untuk berdiskusi membicarakan klaster ketenagakerjaan ini,” kata dia.

“Montesquieu, adalah pemikir politik Prancis yang hidup pada Era Pencerahan dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan. Montesquieu bilang harus ada kontrol antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam menyelenggarakan negara,” kata Timboel.

Ia menegaskan, kesepahaman tentang RUU Cipta Kerja Sabtu (3/10/2020) malam merupakan pengabaian DPR terhadap amanat Montesquieu dalam bernegara. Hanya karena Parpol koalisi mayoritas di DPR, hakekat tugas dan fungsi serta philosofi kehadiran DPR digadaikan oleh anggotanya sendiri karena takut kepada ketua umumnya yang sudah menyatakan satu koalisi dengan pemerintah.

“Tinggal SP/SB menunggu peran yudikatif yang diwakili oleh Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU Cipta Kerja yang akan disahkan dalam sidang paripurna, dan Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Pemerintah yang akan dibuat eksekutif,” kata dia.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY