Penghuni Kompleks Akabri: Kami Punya Kedudukan dan Hak yang Sama di Mata Hukum

0

Jakarta, Pelita. Online – “Kami berharap Panglima TNI mendengar aspirasi kami, karena kami warga punya kedudukan dan hak yang sama di mata hukum,” kata S, salah seorang warga Komplek Perumahan Akabri, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, Minggu (20/8/2017).

Selama dua bulan terakhir, S dan sekitar 57 keluarga lainnya dibuat resah dengan rencana penggusuran oleh pihak TNI. Sejauh ini, sudah ada 11 keluarga yang mendapat surat peringatan (SP) 1 hingga 3. Sisanya tinggal menunggu. Warga menyesalkan tidak ada dialog.

“Warga kaget tidak ada satu pembicaraan secara setingkat, dialog. Yang ada pemberitahuan tentu sangat kecewa dan marah karena warga ini kan sudah tinggal cukup lama dari sejak akhir 60-an,” ujar S.

Meski hidup selama puluhan tahun tanpa sertifikat, warga merasa memiliki. Sebab selama ini pihak TNI nyaris tak pernah mengurus komplek ini. Sama dengan berbagai kasus penggusuran di komplek tentara, TNI tiba-tiba datang ingin mengusir penghuni sebab rumahnya akan digunakan sebagai rumah dinas tentara aktif.

Padahal, Surat Izin Perumahan (SIP) yang diperbarui setiap beberapa tahun sekali sebagai izin legal menempati rumah itu, tak lagi diberikan. Warga pun membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang biasanya tak jadi kewajiban penghuni rumah dinas negara.

Apalagi melihat historis lahan di kawasan Menteng Atas, klaim TNI yang memiliki rumah itu dipertanyakan. TNI menyebut bahwa komplek ini adalah aset Akademi TNI dengan sertifikat nomor 09020208403117.

Di kantor pertanahan, komplek ini tercatat dikuasai oleh Kementerian Pertahanan sesuai dengan Sertifikat Hak Pakai Nomor 03117/Menteng Atas yang diterbitkan Kantor BPN Jakarta Selatan tanggal 2 Agustus 2016.

“Sertifikatnya kenapa baru keluar sekarang tiba-tiba atas nama TNI? Padahal kami tidak pernah didatangi BPN untuk melakukan pengukuran, warga tidak ada yang tahu,” ujar S.

S mengaku ia dan warga lainnya tak pernah berupaya mensertifikatkan rumah mereka. Hal ini dikarenakan kondisi rumah yang unik.

Sejak pertama dihuni pada akhir 60-an, seluruh rumah di perumahan ini terdiri dari dua lantai yang dihuni dua keluarga berbeda.

Kondisi ini membuat mereka bingung bagaimana harus memecah tanah itu. Komplek Perumahan Akabri menambah daftar panjang “anak kolong” yang diusir dari rumahnya, sejak tahun lalu.

Lagi-lagi warga hanya bisa mengadu ke Komnas HAM. Kali ini, ditambah dengan pengajuan gugatan perdata melawan Kementerian Pertahanan, Akademi TNI, dan Kantor Badan Pertanahan Wilayah Jakarta Selatan.

Sidang pertama dengan nomor perkara 471/Pdt.G/PN JKT.SEL itu akan digelar pertama kali pada Selasa (22/8/2017).

Kompas.com

 

LEAVE A REPLY