Perlindungan Terhadap Pelapor Kasus Korupsi Dinilai Masih Lemah

0

Jakarta, Pelita.Online – Perlindungan terhadap whistleblower alias pelapor kasus korupsi di Indonesia dinilai masih lemah. Padahal, pelapor adalah salah satu pendukung penting dalam penegakkan hukum pidana.

“Khususnya dalam kasus-kasus kejahatan terorganisir. Namun, ternyata ancaman terhadap mereka masih tetap terjadi,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justices Reform (ICJR), Supriyady Widodo Eddyono, Selasa 22 Agustus 2017.

Ia mengatakan, ancaman yang ditujukan bagi para pelapor dan saksi, khususnya kasus korupsi, tidak hanya berupa ancaman fisik. Mereka juga mendapat ancaman hukum melalui pelaporan balik, penyerangan secara psikologis, dan administratif.

Supriyady mencontohkan, kasus whistleblower atas nama Stanly Ering. Stanly, kata dia, terancam dipenjara karena mengadukan dugaan korupsi di Universitas Negeri Manado (Unima) ke Kejaksan Tinggi Sulawesi Utara dan KPK pada 2011.

Kala itu, Stanley membuka kasus dugaan korupsi yang dilakukan Rektor Unima Philotus. Namun, Philotus justru melaporkan balik Stanley ke Polda Sulut pada 17 Februari 2011. Stanley lalu didakwa dengan pasal 311 KUHP.

Pada 8 Maret 2012, ia diputus bersalah. Hakim tingkat Kasasi tetap menghukum Stanly selama lima bulan penjara.

“Saat ini ia sedang menunggu perintah eksekusi penjara dan kembali dituduh melakukan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE,” ungkap Supriady.

Kasus kedua, adalah Daud Ndakularak. Ia merupakan seorang pelapor korupsi asal Waingapu, Nusa Tenggara Timur. Sejak 2010, Daud Ndakularak menjadi terlindung sebagai pelapor tindak pidana kasus korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Daud adalah pelapor dalam perkara tindak pidana pengelolaan dana kas APBD Kabupaten Sumba Timur Tahun Anggaran 2005-2006. Proses penyidikan kasus itu telah ditangani oleh Kepolisian Resor Sumba Timur dan telah diputus oleh Pengadilan Tipikor Kupang.

Namun, tindak pidana korupsi yang dilaporkannya justru membuat Daud berstatus tersangka dan ditahan di Kupang sejak 14 Agustus 2017. “Situasi ini menunjukkan kepada publik bahwa menjadi whistleblower atau pelapor di Indonesia dapat merugikan pribadi dan keluarga karena sangat rentan atas pembalasan dan minim perlindungan negara,” ujar Supriady.

ICJR, kata dia, khawatir kasus-kasus seperti ini akan menyurutkan langkah para pelapor kasus korupsi di Indonesia. “Oleh karena itu, ICJR mendorong agar aparat hukum menghentikan serangan balik kepada pelapor-pelapor korupsi yang beriktikad baik tersebut. Jaksa Agung juga perlu mencermati proses penuntutan terhadap mereka,” ujar Supriady.

ICJR meminta agar LPSK segera bersikap untuk memberikan perlindungan dan memonitor pengadilan yang memeriksa perkara para whistleblower. Termasuk, mengkaji seluruh pelapor yang pernah dilindungi untuk melihat adakah serangan balik yang didapatkan atas laporan yang diungkap.

news.metrotvnews.com

LEAVE A REPLY