PK Djoko Tjandra dan Perintah Mahfud Tangkap di Pengadilan

0

Pelita.online – Buron kakap kasus korupsi pengalihan hak tagih (cassie) Bank Bali Djoko Tjandra berhasil masuk Indonesia pada awal Juni lalu tanpa terdeteksi oleh petugas keimigrasian. Namun Menko Polhukam Mahfud MD melihat masih ada celah meringkus Djoko Tjandra, yakni saat buron itu menghadiri sidang Peninjauan Kembali di pengadilan nanti.

Mahfud pun memerintahkan Kejaksaan Agung bekerjasama dengan aparat kepolisian untuk menangkap Djoko Tjandra pada momen tersebut.

“Ketika hadir di pengadilan, saya minta polisi dan kejaksaan untuk menangkapnya dan segera dijebloskan ke penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap),” kata Mahfud, Kamis (2/7) pekan lalu.

Djoko Tjandra merupakan seorang pengusaha yang terlibat kasus korupsi dan telah dipenjara pada tahun 1999. Kasusnya bermula saat Bank Bali kesulitan menagih piutang dengan nilai total Rp3 triliun yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997.

Tagihan tak kunjung cair meskipun ketiga bank tersebut masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Atas dasar itu, Direktur Utama Bank Bali RudyRamli menjalin kerja sama dengan pihak PTEGP terkait pengalihan (cessie) tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000.

Saat itu Djoko Tjandra adalah Direktur PT EGP.  Setya Novanto yang kala itu masih menjabat Bendahara Partai Golkar turut masuk dalam jajaran direksi PT EGP

Proses penagihan cessie berubah jadi ajang korupsi karena fee yang diperoleh PT EGP hampir separuh dari piutang yang ditagih.

Dari Rp905 miliar yang digelontorkan Bank Indonesia dan BPPN, PT EGP menerima Rp546 miliar. Sedangkan Bank Bali hanya kebagian Rp359 miliar.

Cessie itu tak dilaporkan ke Bapepam dan Bursa Efek Jakarta padahal Bank Bali telah melantai di bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN tetap dilakukan Bank Bali, bukan oleh PT EGP.

Kepala BPPN saat itu, Glenn MS Yusuf yang menyadari sejumlah kejanggalan akhirnya membatalkan perjanjian cessie.

Kejaksaan Agung mengendus kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengalihan hak tagih ini. Sepuluh orang ditetapkan menjadi tersangka, tetapi hanya tiga orang yang dijatuhi hukuman penjara. Mereka adalah Djoko Tjandra (Direktur PT EGP), Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), dan Pande N Lubis (mantan Wakil Kepala BPPN).

Djoko ditahan oleh Kejaksaan pada 29 September 1999 – 8 November 1999. Kemudian ia berstatus tahanan kota hingga 13 Januari 2000.

Pada 6 Maret, putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko tidak dapat diterima. Ia pun dilepaskan dari tahanan kota. Proses hukumnya terus berlanjut hingga tingkat kasasi. Dan Djoko selalu berhasil bebas dari segala tuntutan.

Delapan tahun usai vonis bebas MA, atau sekitar tahun 2008, Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan bebas Djoko Tjandra.

MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim menyatakan Djoko Tjandra bersalah dan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara. Selain itu, uang miliknya di Bank Bali sebesar Rp546,166 miliar dirampas untuk negara.

Namun, sehari sebelum vonis tersebut, Djoko Tjandra melarikan diri. Sejumlah pihak menduga Djoko Tjandra berada di Papua Nugini. Ia lantas ditetapkan sebagai buron.

Sekian lama menghilang, pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari pihak Kejaksaan Agung RI.

Ditjen Imigrasi kemudian menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.

Pada 8 Juni lalu, Djoko Tjandra disebut pengacaranya berada di Indonesia dan mengajukan PK. Namun kuasa hukum, Andi Putra Kusuma mengaku tak tahu bagaimana Djoko bisa masuk Indonesia.

Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI, sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan sistem perlintasan dengan status DPO. Dua hari kemudian Jaksa Agung baru mengakui telah kebobolan menangkap Djoko.

Menurut Mahfud sesuai peraturan perundang-undangan, siapa saja yang tengah mengajukan PK harus hadir di pengadilan. Jika narapidana tidak hadir, maka sidangnya tak bisa digelar. Hal ini juga berlaku bagi Djoko Tjandra yang telah menjadi buron sejak lama dan kini mengajukan PK.

Oleh karena itu, dia meminta agar aparat kepolisian dan pihak kejaksaan bisa bersiaga menangkap Djoko saat menghadiri persidangan sebab tak ada lagi alasan untuk menunda hukuman bagi Djoko Tjandra.

“Jadi tidak ada penundaan hukuman bagi orang yang sudah minta PK. Itu saja demi kepastian hukum dan perang melawan korupsi,” ujar Mahfud.

 

Sumber :cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY