Polemik Utang DBH Sri Mulyani ke Anies di Mata BPK

0

Pelita.online – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada bulan lalu menagih utang pemerintah pusat sebesar Rp5,1 triliun. Utang itu berupa kurang bayar dana bagi hasil (DBH) yang dibayar oleh Kementerian Keuangan kepada setiap daerah.

Anies mengklaim membutuhkan dana itu secepatnya untuk menangani penyebaran virus corona di dalam negeri, khususnya di ibu kota. Maklum, DKI Jakarta telah menjadi episentrum penyebaran virus corona, sehingga butuh dana besar untuk menanggulangi wabah itu.

“Kami membutuhkan kepastian DBH. Ketika ratas kami sampaikan ada DBH yang sesungguhnya perlu segera dieksekusi, Pak. Karena itu akan membantu sekali. Ini tagihan tahun lalu jadi piutang ke Kementerian Keuangan,” terang Anies pada awal April 2020.

Setelah itu, Kementerian Keuangan pun langsung buka suara. Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Adriyanto menjelaskan utang itu berasal dari sisa anggaran DBH 2019 yang belum diserahkan ke provinsi.

Menurut dia, dana itu tak bisa dicairkan sebelum ada hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sejauh ini, audit BPK masih berlangsung.

Menurut mekanisme, dana akan diberikan usai BPK mengaudit laporan realisasi, namun jadwalnya memang akan diberikan pada tahun ini. Saat ini, audit masih berlangsung.

“Untuk pembayarannya masih menunggu hasil audit BPK dulu. Penganggarannya memang tahun ini,” kata Adriyanto.

Sementara, Anggota sekaligus Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara VI BPK Harry Azhar Azis sempat mengatakan pihaknya masih butuh waktu untuk melakukan audit laporan keuangan pemerintah pusat yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan, termasuk DBH Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ditagih oleh Anies.

Masalahnya, Harry bilang proses audit yang ada di BPK terkendala oleh kebijakan bekerja dari rumah (work from home/wfh) akibat penyebaran virus corona. Ia bilang waktu pemeriksaan audit biasanya berlangsung selama dua bulan setelah laporan keuangan diberikan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah pusat sendiri diberi waktu menyampaikan laporan keuangan sampai tiga bulan setelah selesai pelaksanaan. Ini artinya pemerintah pusat memiliki tenggat waktu penyampaian laporan keuangan APBN 2019 ke BPK sampai Maret 2020. Kemudian, tenggat waktu BPK untuk menyelesaikannya sampai Mei 2020.

Tak lama kemudian, Ketua BPK Agung Firman Sampurna ikut buka suara. Ia menegaskan bahwa pencairan DBH sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Proses pencairan itu tak ada hubungannya dengan hasil audit dari BPK.

“BPK tidak memiliki wewenang untuk menentukan bagaimana penyaluran DBH dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Prinsipnya begitu. Itu merupakan sepenuhnya wewenang Kementerian Keuangan,” ungkap Agung.

Setelah berbagai pernyataan dari sejumlah pihak, Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya membayar sebagian kurang bayar DBH ke DKI Jakarta sebesar Rp2,6 triliun. Utang itu baru setara 50 persen dari total total kurang bayar DBH tahun anggaran yang mencapai Rp5,16 triliun.

Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, menuturkan bahwa sisanya akan dibayarkan setelah audit yang dilakukan BPK sudah selesai.

Ia menyatakan seharusnya seluruh pembayaran kurang bayar DBH dilakukan setelah audit BPK. Namun, kali ini pemerintah menerapkan kebijakan yang berbeda karena daerah membutuhkan dana untuk menangani dampak penyebaran virus corona.

Polemik tak selesai sampai di sini. Agung kembali memberikan pernyataan bahwa BPK tak ada hubungannya dengan keputusan pemerintah dalam membayar DBH ke DKI Jakarta atau ke daerah lain.

“Penting untuk ditegaskan di sini, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk bayar DBH. Tidak ada hubungannya, saya sudah jelaskan, tidak ada hubungan antara pembayaran kewajiban Kementerian Keuangan kepada Pemerintah Provinsi DKI atau pemerintah daerah mana pun,” imbuh Agung.

Agung menyatakan pihaknya telah melayangkan surat resmi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai kurang bayar DBH pemerintah pusat kepada DKI Jakarta. Surat itu telah dikirim pada 28 April 2020 kemarin.

“Silakan dibaca pada surat resmi yang kami sampaikan kepada Menteri Keuangan,” imbuh Agung.

Dalam surat tersebut, ada lima poin yang dituliskan BPK kepada Sri Mulyani. Poin pertama pertama menjelaskan tentang definisi DBH.

Mengacu pada Pasal 11 sampai dengan 24 Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, BPK menyatakan DBH seharusnya dibayarkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun berjalan.

Poin kedua, BPK memaparkan soal alokasi DBH. Lembaga itu menyatakan alokasi DBH menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jadi, jika Kementerian Keuangan menunda pembayaran DBH ke daerah akan menyebabkan mismatch antara pendapatan dan belanja di APBD dalam jumlah yang signifikan.

Poin ketiga dijelaskan mengenai utang DBH di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). BPK menyatakan pemerintah pusat secara tidak langsung menggunakan DBH tersebut sebagai sumber pembiayaan spontan (spontaneous financing) untuk kepentingan pemerintah pusat.

Poin keempat terkait penyebaran virus corona. BPK menyebut pandemi corona terjadi pada 2020, sehingga seharusnya hanya akan berdampak pada pelaksanaan anggaran tahun ini. Dengan demikian, pelaksanaan alokasi DBH 2019 seharusnya disalurkan dengan menggunakan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk tahun anggaran yang sama.

Poin kelima dijelaskan tentang penggunaan penyelesaian Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKPP 2019 sebagai alat ukur untuk melakukan pembayaran tidak relevan dalam konstruksi pelaksanaan APBN secara keseluruhan.

“Dari penjelasan di atas, Kementerian Keuangan sesungguhnya dapat menggunakan realisasi penerimaan pada LKPP 2019 unaudited (belum diaudit) sebagai dasar perhitungan alokasi pembayaran DBH dengan tetap mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” bunyi surat BPK.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY