Revisi Aturan PBB Gratis, ‘Cek Ombak’ Anies yang Tak Tepat

0

Pelita.online – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah merevisi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 259 Tahun 2015 tentang Pembebasan Atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan Atas Rumah, Rumah Susun Sederhana Sewa dan Rumah Susun Sederhana Milik dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sampai dengan Rp1 miliar.

Revisi itu tertuang dalam Pergub Nomor 38 Tahun 2019 yang telah diundangkan pada 15 April 2019.

Lewat revisi itu, pembebasan objek pajak berupa rumah, rusunami, dan rusunawa dengan NJOP dengan nilai di bawah Rp1 miliar ditetapkan berlaku sampai dengan 31 Desember 2019.

Anies menjelaskan penetapan batas waktu tersebut tidak berarti pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta akan menghapus pembebasan PBB tersebut mulai 2020. Pasalnya, pemprov akan menerbitkan aturan pembebasan PBB lagi tahun depan.

Rencananya, dalam aturan ke depan, Anies akan menambahkan klausul penggratisan PBB bagi sejumlah pihak.

Beberapa pihak yang disebutkan Anies bakal digratiskan PBB adalah guru, pensiunan guru, veteran, purnawirawan TNI, hingga mantan presiden dan mantan wakil presiden.

Pengamat Perpajakan DDTC Bawono Kristiadji mengungkapkan dalam menyusun kebijakan perpajakan, pembuat kebijakan harus memperhatikan masalah kepastian dan kestabilan. Dalam hal ini, ‘cek ombak’ yang dituangkan dalam aturan pajak sebenarnya tidak ideal untuk dilakukan.

“Wajib pajak membutuhkan kebijakan yang stabil dalam arti tidak mudah berubah-ubah antar waktu,” ujar Bawono kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/4).

Untuk itu, Anies sebaiknya berhati-hati dalam merevisi kebijakan pajak PBB DKI Jakarta ke depan. Sama halnya dengan pengenaan pajak lainnya, pungutan PBB memiliki tujuan lain di luar penerimaan, seperti mengurangi ketimpangan, alokasi, serta mengendalikan konsumsi.

“Dalam konteks PBB, instrumen ini kerap juga digunakan sebagai pendukung kebijakan zonasi dan peruntukan lahan di suatu daerah,” ujarnya.

Tarif PBB yang rendah akan membuat penguasaan aset tanah semakin meningkat. Di sisi lain, PBB yang mahal dapat mendorong mobilisasi penduduk yang kurang mampu ke pinggiran.

Menurut Bawono, penerapan pembebasan PBB berdasarkan profesi bisa dilakukan di Jakarta. Namun, penyusun kebijakan harus memperhatikan tiga hal.

Pertama, Bawono mengingatkan PBB merupakan pajak atas aset dan bukan penghasilan. Profesi pasti akan berpengaruh pada penghasilan tetapi belum tentu selaras dengan aset. Oleh sebab itu, jarang ditemui adanya kebijakan PBB yang berbasis profesi.

“Namun demikian, agaknya Pemprov DKI ingin menyasar secara langsung kepada guru terlepas dari penghasilan maupun asetnya. Ini baik dan sah-sah saja demi keberpihakan,” ujarnya.

Kedua, nilai tanah umumnya secara tidak langsung menyaring pemilik berdasarkan penghasilan atau kekayaannya. Mengingat gaji guru secara umum kecil, kebanyakan guru juga sudah menempati rumah di lokasiyang NJOP-nya tidak lebih dari Rp1 miliar.

“Jadi, ada kemungkinan kebijakan yang saat ini berlaku sebenarnya secara tidak langsung sudah menyasar mayoritas guru,” ujarnya.

Terakhir, menurut Bawono, kebijakan PBB berbasis profesi akan cukup rumit secara administrasi. Pasalnya, kebijakan ini memerlukan ketersediaan data yang andal mengenai profesi penduduk DKI Jakarta yang bisa menangkap pola perubahan profesi. Selain itu, pemprov juga harus menyiapkan administrasi pengawasannya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mempertanyakan keputusan Anies untuk merevisi sebagian aturan PBB.

“Kenapa tidak sekalian? Sampai dengan 31 Desember toh masih dibebaskan. Dugaan saya, mungkin (Pemprov) masih butuh kajian formula yang tepat seperti apa,” ujar Yustinus.

Menurut Yustinus, ‘cek ombak’ dalam kebijakan perpajakan biasanya dilakukan terlebih dahulu dengan menggelontorkan wacana, belum dituangkan dalam peraturan.

Ia menjelaskan pungutan PBB dilakukan dengan asumsi orang yang memiliki tanah harus berkontribusi untuk membantu membiayai pemerintahan. Hal ini lantaran kegiatan pemerintahan akan memberikan manfaat pada masyarakat mulai dari perbaikan jalan rusak, pembangunan selokan dan jembatan. Untuk itu, wajar jika sektor komersial menjadi sasaran pungutan PBB.

Demi menyusun kebijakan PBB yang efektif, menurut dia, pemerintah harus mampu menyesuaikan skema fasilitas dan insentif yang diperlukan. Skema tersebut antara lain dapat mencakup perlakuan untuk kelompok miskin, kepentingan sosial, maupun upaya untuk mendorong tanah nonproduktif menjadi nonproduktif.

“Kalau bisa, untuk lembaga pendidikan sosial dan kesehatan bebaskan saja,” ungkapnya.

Pemerintah juga dinilai perlu mengawasi penerima manfaat dari insentif. Ia mencontohkan, jika ingin menyasar masyarakat menengah bawah, maka bangunan rumah yang mendapat pembebasan PBB peruntukannya harus benar-benar untuk tempat tinggal.

“Bukan atas rumah yang sudah dijadikan restoran atau salon,” ujarnya.

Selain itu, valuasi periodik juga perlu dilakukan agar nilai objek representatif.

Terkait pembebasan PBB untuk profesi, Yustinus melihatnya bukan suatu barang baru. Pasalnya, selama ini, kebijakan PBB juga sudah menerapkan skema pengurangan yang bisa sampai 100 persen bagi wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah.

 

Sumber: cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY