Spirit Swasembada dan Keran Impor Bawang Putih nan Longgar

0
Ilustrasi

Pelita.Online – Istilah ‘Swasembada’ pangan telah bergaung sejak era Orde Lama dan tetap menjadi impian Pemerintah Indonesia masa kini. Tak terkecuali pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Tepat setelah dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi berjanji untuk menciptakan swasembada dalam kurun tiga tahun masa pemerintahan. Rencana itu kemudian dielaborasi kembali oleh Kementerian Pertanian (Kementan) yang menetapkan prioritas target swasembada di tujuh komoditas utama, yakni beras, jagung, bawang, kedelai, cabai, daging dan gula.

Namun, jauh panggang dari api. Nyatanya, pemerintah masih terus melakukan impor komoditas pangan. Setelah impor beras dan jagung ramai menjadi sorotan tahun lalu, kini perhatian tertuju pada bawang putih.

Dikutip dari laman resmi Kementan, pemerintah menargetkan swasembada bawang putih terlaksana pada 2020, kemudian targetpun direvisi menjadi 2021. Sesuai perhitungan Kementan, dibutuhkan lahan seluas 73 ribu hektare (ha) untuk mencapai swasembada bawang putih, terdiri dari 60 ribu ha ditujukan untuk bawang konsumsi dan 13 ribu sisanya ditujukan untuk produksi benih.

Namun, impian swasembada pangan kelihatannya masih sulit terealisasi. Pasalnya data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor bawang putih pada 2015 tercatat 482.655 ton dan kemudian menurun 7,95 persen menjadi 444.300 ton setahun berikutnya.

Hanya saja, impor bawang putih meroket 25,15 persen dan mencapai 556.060 ribu ton pada 2017. Tak berhenti di sana, impor kembali menanjak sebesar 4,49 persen menjadi 581.077 ton pada 2018.

Impor bawang putih memasuki episode baru tahun ini, setelah pemerintah mengizinkan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk mengimpor 100 ribu ton bawang putih awal tahun ini.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan keputusan impor diambil karena khawatir harga melonjak pada Ramadan dan Idul Fitri. Terlebih, harga bawang putih saat ini masih bertengger di level atas seolah enggan turun.

Data Pusat Informsi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per Selasa (19/3) menunjukkan, rata-rata harga bawang putih nasional tercatat Rp31 ribu per kg. Bahkan di DKI Jakarta, harga bawang putih sudah menembus Rp51.650 per kg. Harga ini terbang tinggi dibanding posisi awal tahun ketika rata-rata harga bawang putih nasional tercatat Rp24.150 per kg.

Bahkan, Darmin mengatakan impor 100 ribu ton ini bukan yang terakhir tahun ini. Tambahan impor bawang putih berpotensi terjadi mengingat defisit bawang putih di Indonesia berada pada kisaran 400 ribu ton setiap tahunnya.

“Dulu pernah sampai 650 ribu ton, tapi rata-rata Indonesia kan impor bawang putih 450 ribu per tahun,” jelas Darmin.

Ketua Umum Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi pesimistis Indonesia bisa mencapai swasembada bawang putih pada 2021 mendatang. Alasannya, ia melihat tak ada niat serius dari pemerintah untuk benar-benar meningkatkan produksi bawang putih nasional.

Pemerintah sebenarnya sudah punya intensi baik untuk meningkatkan produksi bawang putih nasional. Niatan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura.

Pasal 32 beleid itu menyebutkan importir hortikultura bawang putih wajib melakukan penanaman bawang putih, baik dilakukan sendiri maupun bekerja sama dengan kelompok tani. Bawang putih yang ditanam harus memiliki produksi sebesar 5 persen dari jumlah rekomendasi impor bawang putih yang sebelumnya disetujui Kementan.

Jika ketentuan ini tak diikuti oleh importir, maka Kementan tak akan mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk periode impor berikutnya. Secara kasat mata, Anton bilang kebijakan ini cukup baik, hanya saja belum berjalan dengan sungguh-sungguh.

Ia kerap mendengar laporan dari anggota asosiasinya yang bergerak di budidaya bawang putih bahwa jarang sekali ada importir yang mau bekerja sama dengan kelompok tani. Padahal, importir sesungguhnya tak memiliki kemampuan menggarap lahan mandiri begitu saja, terutama soal lahan, pemupukan, dan proses penanaman.

Menurut Anton, kondisi tersebut dibiarkan oleh Dinas Pertanian di beberapa daerah. Dengan demikian, ia menganggap kebijakan 5 persen bawang putih impor untuk produksi nasional sebatas teori di atas kertas semata.

“Kalau pengusaha serius, harusnya dia melibatkan petani plasma. Sediakan lahan, biar kami yang garap. Tapi laporan hingga hari ini, semuanya tidak ada yang jalan. Saya curiga kewajiban ini hanya dianggap masalah administrasi impor,” jelas Anton.

Tak berhenti di sana, ia juga menilai peta jalan Kementan menuju swasembada bawang putih belum jelas. Bahkan, ia mengklaim Kementan tidak tahu mengenai periodisasi jadwal panen bawang putih secara nasional.

Siklus panen seringkali berubah antar waktu karena masalah iklim, Rekapitulasi data ini, lanjut dia, bahkan tidak dimiliki Kementan.

Pedagang mengambil bawang putih impor dari Cina

“Jadi memang kami melihat keinginan pemerintah untuk mencoba menyediakan stok bawang putih dalam negeri minim. Sampai detik ini kami belum dapat info dari Kementan tentang rencana program penanaman bawang putih untuk mencapai swasembada, memenuhi kebutuhan dalam negeri ini mau dengan apa?” ungkap Anton.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan pemerintah sudah harus menyadari bahwa target swasembada bawang putih 2021 mendatang tidak realistis.

Terdapat dua alasan yang mendasari kesimpulan tersebut. Pertama, Indonesia adalah negara beriklim tropis, sementara bawang putih hanya bisa bertahan hidup di iklim yang dingin. Di Indonesia. bawang putih baru bisa dikembangkan pada lahan yang memiliki ketinggian minimal 750 meter di atas permukaan laut yang tak banyak tersedia.

Kalau pun ada lahan, petani tidak diberi insentif mumpuni untuk menanam bawang putih. Ini kemudian menuntun ke alasan kedua, yakni bawang putih dianggap sebagai komoditas yang tidak menguntungkan.

Harga bawang putih di China hanya sekitar Rp5.000 per kg karena Negeri Tirai Bambu mampu mendorong produksi berskala besar. Hal itu berbeda jauh dengan harga bawang putih di tingkat petani Indonesia yang bisa mencapai lebih dari Rp30 ribu per kg.

Pada akhirnya, pelaku usaha tergiur untuk mengimpor bawang putih karena akan menghasilkan cuan berkal lipat. Di sisi lain, produsen bawang putih lokal harus menyesuaikan harga dengan impor, tentu mereka akan merugi.

Maka itu, tak heran jika sentra produksi bawang putih nasional terus menurun. Kini, produksi bawang putih lokal hanya berkontribusi 5 persen terhadap konsumsi nasional yang berkisar 500 ribu ton per tahun.

“Tak heran Indonesia kekurangan bibit domestik. Dulu sebelum 1996 masih di sejumlah daerah yang namanya bawang putih merajalela, tapi setelah itu tidak ada yang menanam. Tersisa dengan skala besar paling di Sembalun di Nusa Tenggara Barat,” jelasnya.

Maka itu, pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan produksi bawang putih cukup banyak, tidak sekadar mewajibkan importir menanam 5 persen kuota impornya untuk produksi nasional.

Pemerintah harus memastikan bibit bawang putih tersedia dan sudah melalui proses domestifikasi. Sebab, bibit bawang putih dari Taiwan, India, dan China berbeda dengan kondisi tanah di Indonesia. Namun, hal tersebut tentu butuh investasi dan kesabaran tingkat tinggi.

Setelah produksi masif, pemerintah harus memastikan jaminan bagi petani agar masih bisa mendapat laba di tengah harga yang jatuh. Salah satu cara adalah membuat harga acuan bawang putih dengan pengawasan ketat.

Pemerintah juga harus memiliki satu badan yang bisa menyerap kelebihan produksi kala bawang putih panen demi menjaga harga. Konsep ini sama seperti produksi beras yang diserap oleh Bulog.

“Namun sampai saat ini upaya-upaya tidak dilakukan pemerintah. Lantas, apakah Indonesia masih perlu mengejar swasembada?” tutur Khudori.

Pemerintah harus realistis. Swasembada bawang putih 2021 mendatang tak akan terwujud. Namun, Indonesia tak boleh berkecil hati. Meski bawang putih lokal tak punya keunggulan kompetitif dari segi harga, Indonesia bisa berkutat di produksi bawang putih premium yang nilainya jauh lebih tinggi.

Masih Optimistis

Meski dihujani pesimistis, Kementan membantah seluruh klaim tersebut dan tetap kukuh swasembada bisa tercapai dua tahun mendatang.

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan Mohammad Ismail Wahab mengatakan sudah ada bibit bawang putih sebanyak 4.200 ton yang siap disebar ke 16 kabupaten di tahun ini. Beberapa wilayah itu terdiri dari Temanggung, Lombok Timur, Magelang, Malang, Banyuwangi, hingga Cianjur.

Tak hanya itu, kebijakan importir untuk menanam 5 persen kuota impornya untuk produksi nasional dianggap berjalan dengan baik. Sebab, 34 importir sudah melakukannya 100 persen di tahun lalu dan sebanyak 10 diantaranya sudah bisa mengajukan RIPH ke Kementan.

“Untuk yang 10 importir itu wajib menggunakan lahan 2.300 ha dengan produksi minimal 6 ton per ha,” kata Ismail.

Ia melanjutkan, swasembada bawang putih setidaknya membutuhkan areal tanam 100 ribu ha. Saat ini memang luas lahan bawang putih baru di kisaran 30 ribu ha. Adapun di tahun ini, Kementan mengaku agresif dengan menambah luas lahan sekitar 15 ribu ha, yang terdiri dari 10 ribu ha pendanaan APBN dan 5 ribu ha dari kebijakan wajib tanam importir.

Dengan demikian, ia menjamin bahwa impor yang dilakukan sekarang tidak grasak-grusuk. Memang, di satu sisi, harga bawang putih perlu stabil. Sementara menaman bawang putih tentu butuh waktu, sehingga impor masih dibutuhkan.

Tapi di sisi lain, impor harus dikendalikan dan diawasi. Salah satunya dengan kebijakan wajib tanam 5 persen kuota impor untuk produksi nasional.

“Jadi kami mantap dan semangat untuk swasembada 2021 dan kami sudah ada titik pertumbuhan dan sentra baru, seperti Bantaeng di Sulawesi Selatan, Humbang Hasundutan di Sumatera Utara, Aceh, dan dataran tinggi Kerinci. Dengan banyaknya potensi dalam negeri, Indonesia harus optimis dan hasilnya nanti bisa bagus,” tutur dia.

cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY