Taspen Raup Laba Rp388 M di Tengah Polemik Asuransi BUMN

0

Pelita.online – PT Taspen (Persero) mencatat kinerja kinclong sepanjang tahun lalu. Laba perseroan melonjak 41,7 persen dari Rp271,55 miliar pada 2018 menjadi Rp388,24 pada 2019.

Berdasarkan laporan keuangan perseroan, kenaikan laba ditopang oleh pertumbuhan pendapatan 16,63 persen, yakni dari Rp16,53 triliun menjadi Rp19,228 triliun.

Direktur Utama Taspen Antonius NS Kosasih menerangkan pertumbuhan pendapatan berasal dari pendapatan premi dan investasi yang masing-masing tercatat naik 12,08 persen dan 19,08 persen menjadi Rp9,07 triliun dan Rp9,11 triliun.

Menurut dia, manajemen berhasil mengimplementasikan strategi dan kebijakan investasi secara hati-hati. “Kenapa laba bisa melonjak? Karena kami menerapkan strategi investasi yang tepat, lalu bisa mendapatkan premi dan juga efisiensi biaya,” ujar Antonius, Senin (27/1).

Selain itu, beban klaim yang dibayarkan tumbuh lebih lambat ketimbang pertumbuhan pendapatan. Perseroan mencatat beban klaim naik 12,27 persen dari Rp11 triliun jadi Rp16,53 triliun.

Karena kinerja kinclong tersebut, aset perseroan meningkat 13,35 persen dari Rp231,87 triliun menjadi Rp263,25 triliun. Sedangkan ekuitasnya naik 17,52 persen menjadi Rp11,4 triliun dari posisi tahun sebelumnya Rp9,7 triliun.

Antonius mengatakan manajemen telah melakukan rebalancing atau penyusunan ulang portofolio investasi pada 2019, seiring dengan tekanan di pasar modal. “Ada banyak indeks, yang meskipun tumbuh tapi lebih rendah dibanding 2017. Jadi, aset kami turun secara nilai di pasar, tapi kami rebalancing di 2019,” jelasnya.

Kendati demikian, Taspen harus berhati-hati. Pasalnya, liabilitas perusahaan asuransi BUMN khusus PNS itu melonjak 168,02 persen dari Rp93,96 triliun menjadi Rp251,84 triliun.

Sebagian besar liabilitas perseroan terdiri dari dana akumulasi iuran pensiun PNS sebesar Rp151,4 triliun dan liabilitas kepada peserta dan cadangan teknis sebesar Rp99,48 triliun.

Instrumen Likuid

Antonius merinci portofolio investasi Taspen ditempatkan mayoritas atau 86,2 persen di fix income, seperti surat utang, obligasi, dan deposito. Untuk menjaga likuiditas aset, 80 persen deposito ditaruh di bank-bank BUMN, 18 persen di bank daerah, dan hanya dua persen di bank umum.

Sementara, 13,8 persen instrumen investasi lari ke investasi langsung 2,2 persen, saham 4,9 persen, dan reksa dana 6,7 persen. “Sejauh ini, rata-rata imbal hasil investasi di atas 9 persen per tahun. Bisnis yang konsisten dapat imbal hasil 9 persen tidak banyak, dan kami likuid di mana perlu uang selalu ada,” imbuh dia.

Ia menegaskan manajemen berhati-hati dalam memilih instrumen investasi, khususnya di saham dan reksa dana. Untuk saham, misalnya, perseroan memilih saham-saham emiten yang terdaftar di Indeks LQ-45 dan didominasi oleh saham-saham BUMN yang tergolong blue chip.

Beberapa saham dengan portofolio investasi besar, antara lain saham PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk sebesar 24,01 persen, PT Astra International Tbk 10,4 persen, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk 6,45 persen, PT Jasa Marga (Persero) Tbk 8,81 persen, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) 6,36 persen, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk 2,13 persen.

Pada instrumen reksa dana, Taspen berinvestasi melalui 15 Manajer Investasi (MI). Tak sembarang MI bisa mengelola dana asuransi Aparatur Sipil Negara (ASN) itu. MI tersebut wajib memiliki dana kelolaan (asset under management/AUM) di atas Rp4 Triliun hingga Rp50 triliun.

Tercatat, 90 persen MI yang mengelola dana perseroan menduduki peringkat 15 besar di Indonesia. Selain itu, hampir 50 persen penempatan reksa dana Taspen adalah pada MI pelat merah.
“Dalam proses pemilihan saham untuk alokasi investasi, kami selalu mengutamakan aspek makro ekonomi, fundamental, prospek bisnis, likuiditas, dan valuasi perusahaan yang wajar dan seksama serta memperhitungkan pula faktor-faktor teknikal,” tandasnya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY