Terengah-engah Bioskop Indonesia Mengejar India

0

Pelita.online – Pengusaha jaringan bioskop besar mengakui bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi minat mereka untuk memperluas jaringan menjangkau penonton hingga ke seluruh penjuru Indonesia.

Berdasarkan data CNNIndonesia.com, Indonesia yang berpenduduk 264 juta orang memiliki setidaknya 385 bioskop per Rabu (15/1). Jika dibandingkan, pada 2019 ini India yang berpopulasi 1,3 miliar orang memiliki 9600 bioskop dengan 2900 di antaranya multiplex.

Hariman, juru bicara dari jaringan bioskop CGV Cinema mengakui salah satu dari faktor yang dibutuhkan jaringan besar untuk menambah bioskop ke daerah adalah stabilitas kondisi di Indonesia.

“Industri bioskop membutuhkan ketersediaan film, waktu rilis yang akan ditayangkan, hubungan dengan distributor film, serta stabilitas sosial, politik dan ekonomi di Indonesia supaya bisa berkembang menyeluruh,” kata Hariman.

CGV Cinemas merupakan salah satu jaringan besar bioskop sinepleks di Indonesia selain Cinema 21 dan Cinepolis. Berdasarkan data resmi, CGV kini memiliki 67 bioskop dengan 389 layar yang tersebar di 34 kota dan 16 provinsi.

Sementara itu, daerah setingkat kabupaten hingga kecamatan masih menjadi ‘lahan garapan’ bioskop kecil-menengah atau independen seperti New Star Cinema, Platinum Cineplex, Rajawali Cinema, Gadjah Mada Cinema, dan Dakota Cinema.

Hariman menyatakan CGV pada dasarnya tak menemukan kendala untuk membuka bioskop hingga pelosok daerah Indonesia. Daerah-daerah belum tersentuh bioskop selalu menarik perhatian. Namun, beberapa hal harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum membangun bioskop baru.

Masyarakat Indonesia sebenarnya amat berminat menonton film di bioskop.Masyarakat Indonesia sebenarnya amat berminat menonton film di bioskop. (CNN Indonesia/Safir Makki)

“Tertarik, tapi sebagai pelaku bisnis kami harus memikirkan kalkulasi bisnis dalam jangka panjang ketika berinvestasi di suatu daerah supaya bisnis yang dilakukan bisa berkelanjutan,” Hariman menegaskan.

Sehingga, sederet hal perlu dilakukan terlebih dahulu seperti studi kelayakan yang meliputi aspek pasar, operasional mengenai lokasi dan sumber daya manusia dan finansial terkait ROI (Return of Investment alias tingkat pengembalian investasi).

Mereka juga harus memastikan faktor pertumbuhan ekonomi, hukum, serta kondisi lingkungan di daerah yang menjadi target pengembangan bisnis tersebut. Hingga saat ini, Hariman mengaku jaringan bioskop dari Korea Selatan itu membangun 10-15 bioskop baru tiap tahun.

“Kami sebagaimana pelaku bisnis lain selalu menjalani proses Research and Development yang dilaporkan kepada manajemen dalam bentuk feasibility study untuk menunjang rencana operasional jangka panjang yang stabil untuk bisnis di lokasi yang dipilih,” kata Hariman.

Pandangan serupa disampaikan juru bicara New Star Cineplex, David Senjaya. Banyak hal harus dipastikan terlebih dulu seperti aspek pasar serta segala peraturan dan hukum sebelum mengembangkan bisnis bioskop independen di daerah pelosok Indonesia.

“Kalau pemilihan otomatis lihat daerah itu jumlah populasinya. Itu nomor satu. Terus berikutnya kalau dari sisi bisnis ya masyarakatnya konsumtif atau tidak. Daerahnya berkembang atau tidak. Yang penting izin kami lengkap, jelas dan sesuai prosedur,” ucap David.

Pengamat Budaya Pop Hikmat Darmawan turut mengatakan pembangunan infrastruktur fisik dan nonfisik seperti regulasi diperlukan untuk membuat bioskop hadir hingga tingkat kecamatan.

Masyarakat India di New Delhi berkumpul untuk mendukung pemutaran film My Name Is Khan pada 2010 lalu.Masyarakat pencinta film di New Delhi India berkumpul untuk mendukung pemutaran film My Name Is Khan pada 2010 lalu. (PRAKASH SINGH / AFP)

“India bisa begitu [besar industri filmnya] karena kultur menontonnya terbangun oleh infrastruktur fisik yang ada di mana-mana maupun non fisik, berupa regulasi dan segala macamnya,” kata Hikmat.

“Jadi saya kira membangun infrastruktur itu harus juga mencerminkan pemihakan kebijakan negara terhadap film yang adalah sebetulnya bagian dari bagian kebijakan kultural,” lanjutnya.

“Harus ada pemihakan begitu [dari pemerintah]. Tidak bisa jika hanya memihak kepada kelompok masyarakat menengah kota ke atas, pengusaha yang cuma mau main aman di kelas menengah. Kultur menonton dan industri film di Indonesia jadi sangat sulit terbentuk,” Hikmat menegaskan.

Berdasarkan data dari 385 bioskop yang dimiliki Indonesia, sekitar 88 persen atau 342 bioskop berasal dari tiga raksasa jaringan bioskop sinepleks, Cinema 21 dari Indonesia, CGV dari Korea, dan Cinepolis dari Meksiko yang dulu dikenal sebagai Cinemaxx.

Ratusan bioskop tiga jaringan raksasa itu pun sebagian besar berada di ibu kota provinsi, kotamadya, hingga ibu kota kabupaten.

Sementara itu, bioskop kecil-menengah atau independen lebih banyak bertumbuh di daerah tingkat kecamatan seperti Rangkasbitung, Genteng, Banjar dan Ciamis.

Tak hanya itu, tiga provinsi di Indonesia yakni Aceh, Kalimantan Utara dan Papua Barat belum tersentuh hiburan bioskop sama sekali hingga kini.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY