AS Perpanjang Fasilitas Bebas Tarif Bea Masuk untuk Indonesia

0
Kapal membawa peti kemas di kawasan Pelabuhan Bongkar Muat Tanjung Priok milik Pelindo II, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Presiden Joko Widodo meminta untuk segera meningkatkan ekspor dibandingkan impor guna mengatasi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.

Pelita.online – Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR) secara resmi telah memperpanjang pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia. Keputusan itu diambil setelah USTR melakukan evaluasi kepada fasilitas GSP untuk Indonesia selama sekitar 2,5 tahun sejak Maret 2018.

“Pemberian fasilitas GSP ini merupakan salah satu wujud konkret kemitraan strategis kedua negara yang tidak hanya membawa manfaat positif bagi Indonesia namun juga menguntungkan bisnis AS,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada pers secara virtual, Minggu (1/11/2020).

Pengumuman perpanjangan GSP oleh Pemerintah AS disampaikan hanya berselang sehari setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, di Jakarta pada 29 Oktober 2020.

GSP adalah fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah Amerika Serikat kepada negara-negara berkembang di dunia sejak tahun 1974. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada tahun 1980.

Retno menjelaskan terdapat 3.572 pos tarif yang telah diklasifikasikan oleh US Customs and Border Protection (CBP) pada level Harmonized System (HS) 8 digit yang mendapatkan pembebasan tarif lewat skema GSP. Produk-produk itu mencakup manufaktur dan semimanufaktur, pertanian, perikanan, dan industri primer.

Berdasarkan data statistik dari United States International Trade Commission (USITC), ekspor Indonesia pada 2019 yang menggunakan GSP mencapai US$ 2,61 miliar (Rp 38,2 triliun) atau setara 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$ 20,1 miliar (Rp 294,8 triliun).

Retno mengatakan ekspor GSP Indonesia pada 2019 berasal dari 729 pos tarif barang dari total 3.572 pos tarif produk yang mendapatkan preferensi tarif GSP. Ditambahkan, dari Januari-Agustus 2020, di tengah pandemi, nilai ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat US$ 1,87 miliar (Rp 27,4 triliun) atau naik 10,6% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

“Dengan perpanjangan pemberian fasilitas GSP ini diharapkan nilai ekspor Indonesia akan semakin meningkat,” ujar Retno.

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang memperoleh fasilitas GSP di AS. Berdasarkan hasil evaluasi selama tiga tahun, AS juga tidak melakukan pemotongan atau pengurangan apa pun.

“Semakin penting apabila kita menyadari bahwa sebagian besar malah mayoritas dari produk yang diekspor dengan fasilitas GSP diproduksi oleh produsen eksportir UKM (usaha kecil menengah) di Indonesia,” kata Mahendra.

Mahendra mencontohkan produk Indonesia yang difasilitasi skema GSP dari AS antara lain produk dari karet (misalnya matras atau ban pneumatik radial untuk bus atau truk), alat olah raga, beberapa produk elektronik, dan rambut palsu.

Menurut Mahendra, fasilitas GSP membuka kesempatan investasi lebih besar ke AS dan sebaliknya membuka peluang lebih besar bagi investasi beberapa sektor utama AS di Indonesia. Misalnya, investasi AS untuk bidang information and communication technology (ICT).

“Perusahaan-perusahaan (AS) tersebut menyadari ekonomi digital Indonesia sebesar US$ 45 miliar (Rp 660,1 triliun) akan menjadi US$ 133 miliar (Rp 1.951 triliun) dalam lima tahun ke depan,” kata Mahendra.

Mahendra menambahkan pemberian fasilitas GSP juga meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar AS karena adanya akses pembebasan tarif dibandingkan negara lain yang produknya tetap dikenakan tarif.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY