Di Borobudur, Pak Harto Menyerap Energi Spiritual Lokal

0
"Pak Harto di Borobudur yg baru kelar dipugar, 23 Feb 1983. Ketua pemugaran adl Pak Soekmono, pria di sisi Bu Tien"

Pelita.Online – Dalam catatan Incognito Pak Harto seri17 ini, Redaksi cendananews.com selain menurunkan sejumlah tulisan dan liputan berbagai acara, juga menampilkan berbagai aktivitas. Salah satunya, catatan ekspedisi Incognito Pak Harto tahun 2012. Ekspedisi yang dilakukan oleh sebuah tim dari YHK yang terdiri dari Mahpudi (penulis), Bakarudin (jurnalis), Lutfi (filatelis), Gunawan (kurator museum), serta salah satu saksi sejarah peristiwa itu, yaitu Subianto (teknisi kendaraan pada saat incognito dilaksanakan).

Meski sudah cukup lampau ekspedisi itu dilakukan, dan hasilnya pun sudah diterbitkan dalam buku berjudul Incognito Pak Harto –Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013) dan Incognito – The President Impromptu Visit (2013) serta Ekspedisi Incognito Pak Harto –Napak Tilas Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013) ,namun hemat kami catata nekspedisi yang ditulis oleh Mahpudi dalam beberapa bagian ini tetap menarik untuk disimak.

Sebab, seperti disimpulkan oleh penulisnya, peristiwa blusukan ala Pak Harto yang terjadi pada tahun 1970 ini sangat patut dijadikan salah satu tonggak sejarah nasional Indonesia.
Selamat Membaca.

Hari menjelang sore ketika tim ekspedisi Incognito Pak Harto tiba di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kami beruntung, ada beberapa petugas yang memberi kesempatan kepada kami untuk naik dan berfoto-foto di beberapa sudut candi Budha terbesar di Asia Tenggara itu.

Tujuan kami tidak hendak berwisata, melainkan mengikuti jejak perjalanan diam-diam Pak Harto tahun 1970, sebagaimana termuat pada album foto yang kami bawa.

Sutomo (kanan) ketika diwawancarai oleh penulis yang mengunjunginya di kediamannya yang tak jauh dari Kompleks Candi Borobudur bersama tim ekspedisi Incognito Pak Harto pada 5 Juni 2012. Foto Dok Museum Purna Bhakti Pertiwi

Petugas museum Candi Borobudur mengantar kami untuk melihat-lihat aneka artefak seputar candi yang terpajang di sejumlah ruangan. Kami menanyakan tentang kehadiran Pak Harto saat awal pemugaran candi tersebut pada tahun 1970-an. Mengenai hal tersebut, ia mengaku tak memiliki cukup informasi.

Namun, ia bersedia mengantar kami kepada seorang tokoh masyarakat yang tahu banyak tentang awal pemugaran candi Borobudur. “Beliau tinggal di sekitar sini, tak jauh dari komplek Candi,” ujarnya.

Kami pun di antar ke sebuah losmen yang letaknya tak jauh dari kompleks Candi Borobudur. Seorang gadis remaja menyambut kami. Dia segera mafhum maksud kedatangan kami. Ia pun bersegera mengendarai sepeda motornya, setelah mempersilahkan kami duduk di sebuah bangku panjang.

Di atas meja, terdapat sejumlah kue-kue dagangan, layaknya sebuah losmen. Tak berapa lama, sang gadis sudah kembali disusul oleh pria sepuh yang langkahnya masih terlihat tegap berjalan kaki.

Nama pria sepuh itu Sutomo. Setelah pembicaraan pembuka, kami segera memasuki perbincangan yang mengasyikkan. Sutomo sempat masuk ke dalam ruangan, kemudiankembali, sambil membawa buku berjudul Butir-Butir Budaya Jawa. ”Saya menyimpan buku ini, “kata Sutomo sambil memperlihatkan buku berukuran folio dengan sampul berwarna hitam.

Kami cukup terperangah! Betapa tidak, buku tersebut bukan buku yang mudah didapat. Tak ada di toko buku pada umumnya. Buku itu merupakan kumpulan nilai-nilai ajaran kehidupan orang Jawa, ditulis dalam tiga bahasa sekaligus, yakni bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris.

Prasasti yang ditandatangani Presiden Soeharto pada tahun 1973 menandai dimulainya pemugaran secara menyeluruh candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti tersebut msih bisa disaksikan keberadaannya di kompleks Candi terbesar di Asia itu. Foto Dok Museum Purna Bhakti Pertiwi

Menariknya, buku Butir-butir Budaya Jawa yang diterbitkan pertama kali tahun 1987, merupakan buah karya Pak Harto yang ditulis kembali oleh puteri sulungnya, yakni Mbak Tutut–panggilan akrab Siti Hardiyanti Rukmana.

Bagi mereka yang hendak mempelajari alam pikiran Pak Harto membaca buku ini merupakan suatu kewajiban. “Sayang ya, buku ini sulit kami dapat disini. Jadi, kalau ada yang berminat, terpaksa kami berikan fotokopinya,” demikian tutur Sutomo.

Ketika kami tanya apakah dirinya sempat menyaksikan kunjungan Pak Harto ke candi Borobudur tahun 1970, Sutomo mengaku, ia tak menyaksikan sendiri kunjungan itu. Namun, hampir semua penduduk di sekitar candi, membincangkannya.

Dari cerita-cerita itulah, Sutomo yang dikenal sebagai pemilik paguyuban penghimpun para pegiat kebudayaan Jawa di sekitar candi, mengetahui bahwa Pak Harto memiliki perhatian khusus terhadap Candi yang didirikan oleh Wangsa Syailendra antara tahun 770-825M ini.

Menurut Sutomo, kondisi Candi Borobudur saat itu begitu kurang terawat. Saat itu, Pak Harto memperoleh penjelasan dari petugas, bagaimana hambatan dan permasalahan, terkait restorasi Candi Borobudur. Memang, usaha merestorasi candi sudah mulai dilakukan pada masa kolonial Hindia Belanda dan diteruskan pada masa Indonesia Merdeka.

Bahkan, sejak tahun 1963, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan dukungan kepada masyarakat internasional untuk melakukan pemugaran besar-besaran.

Saat itu, suramnya situasi politik tahun 1965, membuat proses pemugaran menjadi kurang mendapat perhatian. Kehadiran Pak Harto yang notabene adalah presiden Kedua Republik Indonesia, pada incognito 1970, membangkitkan kembali semangat para pegiat restorasi.

Tak lama setelah incognito itu, kira-kira pada Juni 1971, Presiden Soeharto membentuk badan pemugaran yang dipimpin Prof. Ir. Roosseno, didampingi ahli kepurbakalaan R. Soekmono.

kemudian, pada tahun 1973, Rencana Induk Pemugaran Candi Borobudur diumumkan Pemerintah Indonesia dengan dana yang diperlukan, tidak kurang dari $25 juta, yangmembutuhkan waktu pemugaran 8 tahun.

Pak Harto meresmikan pemugaran ini pada 10 Agustus 1973 dengan menandatangani sebuah prasasti yang kini terdapat di salah satu sudut halaman candi.

UNESCO, badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, akhirnya menyetujui untuk menggalang dukungan masyarakat dunia bagi proses pemugaran tersebut. UNESCO berkomitmen menyediakan dana sebesar $6,5 juta, sementara sisanya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia.

Tepat pada tanggal 23 Februari 1983, secara resmi, pemugaran itu dinyatakan berhasil. Pak Harto datang lagi, kali ini, untuk meresmikan keberhasilan itu. Dalam peresmian itu,Pak Harto antara lain menyatakan, ”Candi Borobudur menunjukkan kepada kita mengenai masa lampau yang bernilai tinggi. Candi yang indah dan megah ini merupakan bukti nyata dari kemampuan berpikir, daya cipta, dan kemampuan berbuat dari nenek moyang kita yang oleh dunia internasional diakui sebagai warisan budaya umat manusia seluruhnya.”

UNESCO baru menetapkan Candi Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage) pada tahun 1991.

Ada tafsir menarik yang disampaikan oleh Sutomo tentang incognito Pak Harto ke Candi Borobudur. “Kehadiran Pak Harto secara diam-diam ke Borobudur maupun beberapa tempat lainnya, sesungguhnya merupakan cara beliau menyerap energi spiritual dari pusat-pusat kekuatan spiritual lokal di Indonesia,” kata Sutomo.

Sutomo menyatakan, bahwa apa yang dilakukan Pak Harto merupakan pelaksanaan dari sikap seorang Jawa yang menghayati prinsip-prinsip keyakinan, sebagaimana tertuang dalam buku Butir-Butir Budaya Jawa.

Bagi Sutomo, kehadiran Pak Harto di suatu tempat bukan saja memberi energi dalam bentuk solusi atas permasalahan maupun kebijakan yang diputuskannya kemudian, melainkan juga menyerap energi spiritual dari tempat-tempat itu. Kelak, energi tersebut akan diubah menjadi sesuatu yang berguna pada kesempatan berikutnya.

Terlepas dari tafsir Sutomo, Pak Harto bersama rombongan incognito memang tak hanya mengunjungi Candi Borobudur yang merupakan salah satu pusat spiritual umat Budha. Pak Harto juga berkunjung ke pesantren maupun tempat lainnya, yang secara kasat mata, memang tempat dikembangkannya spiritualitas masyarakat Indonesia.

Tentu saja, bukan hanya lokasi seperti itu yang disinggahi, melainkan juga proyek-proyek pembangunan dan aktivitas keseharian masyarakat pun, mendapat perhatian utama dalam perjalanan incognito Pak Harto.

Dalam tafsir modern, yang dimaksud energi spiritual itu bisa saja berbentuk informasi tentang permasalahan, potensi, tantangan, maupun peluang yang kelak diubah Pak Harto menjadi inspirasi, kreasi, bahkan inisiatif-inisiatif dirinya sebagai seorang pemimpin bangsa dan negara. ***

Cendananews.com

LEAVE A REPLY