Dilema Usaha Baju Bekas Impor, Barang “Branded” Harga Merakyat tetapi Dilarang Pemerintah

0

pelita.online – Pemerintah melarang para pedagang usaha baju bekas impor atau thrift karena merusak pasar usaha mikro kecil menengah (UMKM) serta untuk mencegah bakteri atau penyakit yang terdapat di baju tersebut. Larangan yang sudah dikeluarkan sejak 2021 oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini masih menjadi dilema di kalangan masyarakat. Masyarakat bisa mendapatkan pakaian bekas dengan merk terkenal atau branded dengan harga yang sangat ramah di dompetnya.

Selain itu, pakaian bekas dianggap bisa mengurangi limbah karena masih punya nilai guna. Tak heran, pedagang thrift menargetkan pembeli untuk kalangan menengah ke bawah. Namun, ada juga pembeli yang status ekonominya menengah ke atas.

Larangan pemerintah soal thrifting

Larangan soal thrift ini sudah tertulis pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Hal ini tertera pada Pasal 2 ayat 3 yang tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mengusulkan larangan thrifting karena dinilai merusak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal. Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman menilai, praktik thrifting dapat merusak industri tekstil dalam negeri.
“Memang di peraturan perdagangan kita yang Bea Cukai itu kan sebenarnya dilarang thrifting, impor barang-barang bekas itu kan dilarang,” ujar dia. Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai bisnis impor pakaian bekas sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri. Oleh karena itu, ia meminta agar bisnis tersebut ditelusuri dan ditindak. “Sudah saya perintahkan untuk mencari betul. Dan sehari, dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu,” ujar Jokowi di Istora GBK, Jakarta, Rabu (15/3/2023). “Yang namanya impor pakaian bekas. Mengganggu. Sangat mengganggu industri dalam negeri kita,” katanya lagi menegaskan. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri serta Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) pun telah berkoordinasi untuk menindak bisnis pakaian bekas impor.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, bisnis baju bekas harus ditindak. Sebab, menurut dia, ada risiko kesehatan yang harus diperhatikan dari bisnis penjualan baju bekas tersebut. “Nah itu harus ditindak,” ujar Zulkifli. “Bukan soal usaha tidak usaha, ini kan bawa penyakit. Kalau orang pakai jamuran gimana? Nular dari daerah mana ke daerah mana, penyakitan kan enggak bagus,” kata dia. Namun, ucapan tersebut dianggap terlalu berlebihan. Salah satu pedagang baju bekas impor atau thrift di Blok M Square, Jakarta Selatan, Bosman Hasugian (56) mengatakan, baju bekas tersebut dicuci terlebih dahulu sebelum dijual.

Bahkan, ia juga selektif memilih baju bekas mana yang masih layak untuk dijual. “Kalau Menteri Perdagangan bilang dagangan kami (baju bekas impor) ada kotor, bakteri, itu berlebihan. Baju ini kan dicuci dulu,” kata Bosman kepada Kompas.com, Kamis (16/3/2023). “Setelah buka dari bal, semua baju kami bawa ke (tempat) laundry dulu, baru digosok (setrika). Yang sudah sobek, jelek, atau kotor banget, ya kami buang,” tambah dia. Pedagang thrift lainnya, Andriani (53), menuturkan hal yang sama. Menurut dia, setelah membuka bal berisi pakaian-pakaian bekas impor yang baru dibeli, ia pun mencuci semua pakaian tersebut. Adapun berat satu bal berisi baju bekas tersebut bisa mencapai 80-100 kilogram. Andriani harus mencuci baju-baju tersebut ke tempat laundry dengan harga Rp 6.000 per kilogram. “Kami modal dululah. Satu bal isinya bisa 80 kg, ada yang 100 kg. Kami cuci dulu semua di (tempat) laundry. Itu di bawah gantungan baju ada kardus, abis di-laundry semua,” kata Andriani.

Pemerintah dianggap berlebihan

Bosman menilai pemerintah terlalu berlebihan soal larangan impor baju bekas. “Saya sebagai pedagang mengira pemerintah terlalu berlebihan. Yang jual baju thrift ini kan bukan hanya satu dua orang, bahkan se-Indonesia, harus dipikirkan juga efek ekonominya,” ujar Bosman. Bosman meniti karier sebagai pedagang di Blok M sejak 1990. Namun, baru pada tahun 2021 ia beralih menjadi berjualan baju bekas impor. Menurut dia, menjual baju bekas impor sangat membantu perekonomian, khususnya para pedagang kecil seperti dirinya. Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memikirkan masak-masak terlebih dahulu dampaknya bagi rakyat kecil.

“Pikirkan matang-matang dahulu,” terang dia. Bahkan, ia menuding pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang yang merusak pedagang toko grosir karena berjualan secara online. “Justru pedagang tekstil di Tanah Abang mereka yang merusak pasaran menurut saya. Sebagian besar pedagang baju grosiran di sana jual secara online,” jelas dia. Menurut dia, semenjak adanya toko online, pedagang di Blok M Square dan tempat perbelanjaan lainnya tak berdaya sampai bangkrut. “Kita ini kan pedagang murni selama ini belanja dari grosir, bisa di Tanah Abang, Cipulir, Bandung dan lain-lain. Semenjak ada toko online, bukan hanya di Blok M ini, hampir di Jabodetabek bahkan seluruh Indonesia itu pedagang toko retail baju mati pembeli,” terang dia.

“Mereka (pedagang grosir tekstil Tanah Abang) itu jual secara online dengan harga Rp 50.000. Sama kayak ke kami. Pedagang toko baju retail enggak mungkin dong jual Rp 50.000. Nah matinya di situ. Jadi yang mematikan pedagang retail online ini,” tambah dia. Bosman menyayangkan, pemerintah bisa bangga dengan pedagang baju retail online dengan membayar pajak yang lebih sedikit. Sedangkan pedagang toko baju retail seperti dirinya, harus mengeluarkan sewa toko dan pajak yang nilainya puluhan bahkan ratusan juta rupiah. “Pajaknya besar atau enggak itu (pedagang baju online), sementara pengeluaran kita besar di sini. Sebulan ada yang Rp 20 juta, ada yang Rp 60 juta biaya sewanya,” tutur dia.

Andriani merasa berkeberatan dengan kebijakan pemerintah soal larangan berdagang baju bekas impor ini. Ia berharap, pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Menurut dia, aktivitas jual beli baju bekas impor justru bisa menjadi salah satu roda penggerak perekonomian di Tanah Air usai pandemi Covid-19. “Kalau bisa ya janganlah (dilarang). Ada peluang juga memajukan ekonomi dari bisnis ini (berdagang baju bekas impor), apalagi setelah pandemi Covid-19,” kata Andriani. “Biarkan kami dengan usaha kami masing-masing. Semua rezeki tuhan yang atur,” tambah dia.

Namun, jika pemerintah telah memutuskan untuk melarang thrifting dan akan menutup dagangannya, ia berharap Presiden Joko Widodo bisa memberikan solusi bagi semua pedagang baju bekas impor. “Kalau dilarang, pemerintah memfasilitasi untuk usaha apa gitu, kita mau. Jangan ditutup begitu saja, tetapi enggak ada solusi,” terang Andriani. “Misalnya pemerintah kasih peluang dagang baju lokal gitu, kasih modal, dan harganya juga murah, dengan hitungan sekian, itu kan membantu dan kita mau,” tambah dia. Ia menuturkan, saat ini aktivitas thrifting tak hanya ramai di Jakarta. Banyak pedagang lain di luar Jakarta yang mencari makan dengan berdagang baju bekas impor ini. “Karena banyak ya dagang ini, enggak cuma di Jakarta saja,” papar dia.

Politisi PDI-P tolak larangan thrifting

Politisi PDI Perjuangan Adian Napitupulu tidak terima bisnis jual beli pakaian impor bekas atau thrifting dilarang oleh pemerintah. Ia yang juga mengaku sebagai pencinta thrifting merasa bingung apa salahnya bisnis pakaian bekas impor tersebut. “Gue dilantik menjadi anggota DPR dengan jas bekas yang gue beli di Gedebage. Apa hubungannya gitu ya? (bisnis thrifting dilarang). Kalau misalnya ada masalah pajak, ya tagih pajak,” kata Adian. Adian mengatakan, jika benar thrifting berdampak pada industri tekstil pada UMKM, maka yang harus diperkuat adalah pembinaan UMKM tersebut.

“Misalnya pakaian celana, bikin dong yang up to date. UMKM bina dong, didik dong, segala macam. Sudah semaksimal apa sih mereka (pemerintah) itu,” jelas Adianp. “Ada banyak juga kok barang-barang lain produksi UMKM yang tak ada kaitannya dengan impor bekas, makanan apa segala macam banyak sekali toh tidak berkembang,” pungkas dia.

sumber : kompas.com

LEAVE A REPLY