KPK Sebut Aturan Soal Limbah Batu Bara Buat Produksi Listrik Membengkak

0
Deputi Penindakan KPK Karyoto memberikan keterangan saat konferensi pers penetapan tersangka dan penahanan Bupati Muara Enim Juarsah di gedung KPK, Jakarta, Senin (15/2/2021). Juarsah ditahan penyidik KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait proyek-proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim tahun 2019. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.

Pelita.online –

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah rampung menelaah terhadap pengelolaan fly ash bottom ash (FABA) batu bara di fasilitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2020.

Berdasarkan hasil penelaahan, KPK menemukan PP 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang memuat pengkategorian FABA sebagai limbah B3 memiliki beberapa kelemahan.

“Tujuan kegiatan ini juga sama halnya tentu untuk mencegah agar tidak terjadi tindak pidana korupsi dan juga pada potensi kerugian negara yang disebabkan terhadap kelemahan dalam berbagai kebijakan ini,” kata Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar dalam diskusi bertajuk Menjawab Dilema FABA yang disiarkan secara daring, Senin (22/3/2021).

Lili mengungkapkan, kelemahan tersebut antara lain berdasarkan studi literatur, pengkategorian FABA sebagai limbah B3 tidak sesuai dengan praktik di negara lain.

Di sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, Tiongkok dan sejumlah negara di Eropa, FABA justru dikategorikan sebagai limbah non-B3.

Selain itu, kata dia, sebagian besar pembangkit listrik PLN berupa PLTU. Energi primernya berasal dari batu bara yang menghasilkan FABA dan pengelolaannya mengacu pada PP 101/2014.

Menurut Lili, pengelolaan FABA mengacu pada aturan tersebut malah menyebabkan timbulnya pembiayaan yang menjadi salah satu unsur peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik PLN sebesar Rp74 per kWh pada 2019.

“Dan secara signifikan kenaikan BPP per kWh untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar pulau jawa sebesar Rp790,65 per kWh,” kata Lili.

Dikatakan, dengan dimasukkannya FABA sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelolanya. Tak hanya itu, pengkategorian FABA sebagai limbah B3 juga mengurangi peluang pemanfaatan secara maksimal sebagai bahan baku konvensional dengan potensi nilai sebesar Rp 300 triliun.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY