Lukisan Diponegoro dan Obsesi Kepahlawanan Presiden Jokowi

0

Pelita.online – Pangeran Diponegoro menatap tajam Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Markus de Kock yang menangkapnya lewat sebuah muslihat. Diponegoro, yang memakai jubah putih, serban hijau, tetap tegak tak tertunduk di antara para perwira Belanda yang tampak memiliki kepala berukuran sedikit lebih besar alias tak proporsional.

Hanya sebagian prajurit Jawa, yang digambarkan berkepala proporsional, yang tertunduk dengan penangkapan di depan sebuah gedung kolonial itu.

Demikian gambaran singkat dari lukisan karya Raden Saleh Sjarif Boestaman berjudul ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’ (1857).
Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pembuatan lukisan itu merupakan bentuk perlawanan terhadap lukisan yang mengisahkan peristiwa yang sama milik pelukis Belanda Nicolaas Pieneman berjudul ‘Penyerahan Diri Diponegoro’ (1835).

Lukisan Nicolaas menggambarkan insiden itu dengan kondisi Diponegoro yang tertunduk lesu dan pasrah. Tak seperti versi Raden Saleh yang menunjukkan sikap menantang sang pangeran. Perbedaan lainnya adalah ketiadaan bendera Belanda pada lukisan Raden Saleh.

Lukisan yang dilukis dengan cat minyak itu merupakan salah satu koleksi bernilai tinggi yang dipajang di ruang utama Istana Merdeka, Jakarta.

Selain lukisan yang punya spirit perlawanan itu, di ruang utama Istana Merdeka juga terdapat lukisan pahlawan lainnya, misalnya lukisan wajah Teungku Cik Di Tiro, WR Supratman, dan Jenderal Sudirman.

Istana Merdeka, Jakarta.Istana Merdeka, Jakarta. (Resty Armenia)

Tak ketinggalan, lukisan karya Basuki Abdullah berjudul ‘Gatut Kaca dan Prigiwa-Prigiwati’ serta lukisan karya Hendrik Hermanus Joel Ngantung alias Henk Ngantung dengan judul ‘Memanah’.

Namun, lukisan Henk itu bukan lah yang asli. Lukisan yang dipasang di dekat pintu beranda Istana Merdeka adalah hasil reproduksi dari pelukis Haris Purnomo pada 2016.

Kepala Biro Pengelolaan Istana Sekretariat Presiden Darmastuti Nugroho mengakui bahwa Jokowi lah yang meminta agar lukisan bertema kepahlawanan seperti Penangkapan Pangeran Diponegoro hingga Gatot Kaca itu diletakkan di ruang utama.

“Itu keliatannya yang tampak beliau lebih tertarik, selain tokoh-tokoh pahlawan Indonesia yang dipasang di Istana Merdeka. Ada Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, WR Supratman. Beliau (Jokowi) yang minta,” ujarnya.

Menurutnya, Presiden ketujuh RI itu memang menyukai lukisan yang bertema sosial dan sejarah. Seperti lukisan karya Hendra Gunawan dan Romualdo Locatelli. Ia mengatakan Jokowi juga pernah mendapatkan hibah lukisan dari pelukis Jeihan Sukmantoro, yang meninggal akhir November lalu.

Darmastuti menyatakan masing-masing presiden memiliki selera tersendiri terhadap lukisan. Presiden pertama RI Sukarno, kata dia, jelas merupakan penggemar karya seni.

Sepertiga dari total 3.201 buah lukisan yang tersebar di lima Kompleks Istana Kepresidenan, yakni Istana Merdeka, Istana Negara, Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta, dan Istana Tampak Siring Bali, adalah hasil buah koleksinya.

“Sepertiganya lah dari yang lukisan yang ada,” kata Darmastuti.

Presiden Jokowi juga disebut memiliki ketertarikan pada seni musik.Presiden Jokowi juga disebut memiliki ketertarikan pada seni musik. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

Ketika menjabat, Sukarno dikenal dekat dengan para pelukis seperti Basuki Abdullah, Dullah, S Sudjojono hingga Le Man Fong. Karya Basuki menjadi yang paling banyak tersimpan di Istana, yaitu 126 lukisan.

Selain lukisan, kata Darmastuti, ada karya Raden Saleh berupa litografi yang berjumlah 12 buah.

Di era Soeharto, lanjutnya, lukisan ditempatkan di sebuah museum bernama Puri Bakti Renatama, yang kini menjadi Kantor Presiden, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.

“Ini isinya adalah selain lukisan, jadi memang ada sanggar lukisan, isinya lukisan banyak, itu mungkin terakumulasi,” tuturnya.

Darmastuti menyebut museum itu kemudian digeser oleh Megawati ke Bina Graha, yang sebelumnya adalah Kantor Presiden. Sementara bangunan yang awalnya museum menjadi Kantor Presiden.

Namun, ketika SBY menjabat Bina Graha dijadikan kantor staf khusus. Koleksi lukisan dan sejumlah benda seni akhirnya disimpan di Istana Yogyakarta.

“Jadi Pak SBY waktu itu, di sana dibuat museum, lalu di Bogor juga dibuat Museum, sehingga beberapa barang banyak yang kita geser ke sana, termasuk lukisan-lukisan,” ujarnya.

Perawatan Tak Murah

Darmastuti menyatakan bahwa perawatan lukisan-lukisan tersebut tak mudah. Setiap hari ada staf Sekretariat Presiden yang memeriksa kondisi lukisan dan kelembaban udaranya. Penempatan lukisan juga tak bisa di sembarangan tempat. Apalagi lukisan-lukisan yang tersimpan semua asli.

“Ini memang harus, kita berupaya untuk penempatan itu harus betul-betul sesuai, misalnya enggak boleh di bawah AC. Jadi supaya kita jaga kelembaban itu sendiri,” ujarnya.

Darmastuti menyebut biaya perawatan lukisan-lukisan tersebut juga tak murah. Mengingat lukisan-lukisan ini banyak yang sudah berusia puluhan tahun. Selain itu, orang yang ahli restorasi lukisan di Indonesia belum terlalu banyak.

“Jadi sementara ini kita bisa, baru bisa anggarkan sekitar Rp400 jutaan per tahun,” katanya.

Menurutnya, di Indonesia sampai hari ini belum ada perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau jurusan restorasi lukisan tua. Ia baru mendapat informasi akan dibuka jurusan tersebut di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.

“Jadi beberapa restorator yang kita pakai, mereka pendidikannya di luar, kalau enggak di Jepang, di Belanda,” tandasnya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY