Maestro Karawitan Sunda Tan Deseng Meninggal Dunia, Selamat Jalan Sang Jimat Awaking

0

Pelita.Online – Maestro karawitan SundaTan Deseng, meninggal dunia. Tan Deseng atau Deseng, demikian ia akrab disapa, meninggal dunia Minggu 6 November 2022 pukul 13.30 WIB di RS Rajawali Bandung.

“Meninggal pada usia 80 tahun karena sakit pencernaan dan gangguan pernapasan yang sudah lama dideritanya,” tutur Boy Worang, sahabat karib Tan Deseng.

Boy menuturkan, sebelum meninggal, Tan Deseng sudah beberapa kali masuk-keluar rumah sakit. Terakhir, setelah dua hari dirawat di RS Rajawali, Bandung, Tan Deseng mengembuskan napasnya yang terakhir.

Jasad mendiang Tan Deseng disemayamkan di Rumah Duka Nana Rohana Blok D dan E, Warung Muncang, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung.

Wartawan senior Rosyid E Abby memaparkan, bagi khazanah permusikan (karawitan) Sunda, nama Tan Deseng tak asing lagi.

Namanya memang mencerminkan dia beretnis Tionghoa. Meski demikian, jangan ragukan kesetiaannya terhadap seni Sunda.

“Wajah saya memang wajah Tionghoa. Itu takdir ilahi, bukan pilihan saya. Saya tidak bisa memilih ibu yang melahirkan saya. Yang jelas, saya lahir di Tanah Sunda, tanah yang memberi saya kehidupan dan darah daging saya ditumbuhkan oleh alam SundaMasak saya tidak boleh mencintai budayanya? Di mana saya dilahirkan dan dibesarkan, di situlah saya akan membaktikan diri!” kata Tan Deseng ketika tampil bermusik dan berdiskusi di Aula Pikiran Rakyat, Jalan Asia Afrika, Bandung, awal 2020.

Perkataannya itu dituangkannya pula dalam buku Tan Deseng: Jimat Awaking, yang ketika itu dibagikan kepada sebagian orang yang hadir.

Kadariaan (kesungguhan) Tan Deseng dalam mencintai kesundaan sungguh tak diragukan. “Bahkan, ia sempat bosan karena dalam pemberitaan-pemberitaan di media massa selalu dibilang ‘lebih nyunda daripada orang Sundanya sendiri’,” kata Boy Worang seraya tertawa.

Tan Deseng yang dilahirkan di Gang Tamim, kawasan Pasar Baru, Kota Bandung, 22 Agustus 1942 itu pada usia 17 tahun mulai berguru waditra kecapi kepada Ebar Sobarna dan Sutarya.

Lalu, pada usia 19 tahun, belajar tembang cianjuran kepada Nyi Mas Saodah, panembang sohor pada zamannya.

“Musik tradisi Sunda itu, bagi saya, sungguh melahirkan kedamaian. Dengan mempelajarinya, saya semakin jatuh cinta pada seni tradisi Sunda,” tuturnya, dua tahun silam.

Kecintaan Tan Deseng terhadap seni tradisi Sunda, kian lama kian menjadi-jadi. Selain piawai memainkan alat musik, dia fasih ngawih. Lebih dari itu, dia banyak menciptakan kawih yang banyak disimpannya dalam bentuk rekaman.

Selain belajar musik, kawih dan tembang SundaTan Deseng memperdalam seni wayang golek pada Dalang Abah Sunarya.

Di samping itu, dia bukan hanya piawai dalam memainkan musik tradisi (pentatonis), tapi juga mahir memainkan musik modern (diatonis).

“Bahkan di tangan Tan Deseng, gitar bisa ia mainkan sebagai kecapi dengan nada dan irama yang pentatonis. Begitu pula dengan kecapi, dia mampu memainkan irama gitar yang diatonis,” ujar Boy Worang, yang sejak 1970-an bersahabat erat dengan Tan Deseng.

Di luar musik tradisi, menurut Boy Worang, Tan Deseng sempat bermain dalam beberapa band seperti Paramor, Maria Musica, Blue Diamond, dan Hamming Youth. Pernah juga bergabung dengan Young Brothers dan pentas di berbagai kota.

“Dalam band, ia banyak memegang gitar. Bahkan saking mahirnya memainkan alat musik itu, Tan Deseng sempat dijuluki ‘Si Setan Melodi’,” tutur Boy.

Maestro

Berkat prestasi dan jasanya dalam mengembangkan seni karawitan Sunda, tak heran Tan Deseng mendapat berbagai penghargaan. Dia menerima penghargaan Presiden Megawati Soekarnoputri pada acara “Sawengi di Tatar Sunda” (2002), mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Jawa Barat atas pengabdiannya sebagai seniman musik tradisional Sunda (2004), meraih Piala Metronome dari Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) sebagai pengembang seni musik Sunda (2007), dan Anugerah Maestro Musik Karawitan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008).

“Saya bangga dengan prestasi Tan Deseng, termasuk dengan ditetapkannya beliau sebagai Maestro Karawitan Sunda oleh Pemerintah Indonesia dalam Keputusan Presiden RI,” ujar Leon Hanafi, Ketua Pasundan Asih–organisasi kasundaan yang juga diikuti Tan Deseng dan Boy Worang—sebagaimana diungkapkannya dalam buku Tan Deseng: Jimat Awaking.

Dokumentasi

Anggota DPRD Jawa Barat Buky Wibawa Karya Guna yang akrab dengan sapaan Bucky Wikagoe sangat kehilangan atas wafatnya Tan Deseng.

Buky mengungkapkan pengalamannya bersama mendiang Tan Deseng, di antaranya saat menjalani rekaman musik.

Saat itu, dia menjalani rekaman di studio milik Tan Deseng. Teknologi rekaman, ucap Buky, belum secanggih saat ini.

Perekaman vokal bersama instrumen musik mesti bersamaan. Saat ada yang kurang pas, rekaman mesti diulang dari awal.

“Istilahnya, masih rekaman empat track. Sedikit saja ada yang kurang pas, rekaman diulang dari awal. Lantaran demikian, semasa rekaman, saya bersama personel pengiring berada di studio beliau berhari-hari,” ucap Buky.

Buky jarang bertemu Tan Deseng beberapa tahun belakangan. Namun, komunikasi masih terjalin melalui percakapan ponsel.

Dari banyak percakapan ponsel, salah satu pesan yang melekat dalam benak Buky yakni perihal penyimpanan dokumentasi milik beliau, terutama master rekaman.

Seingatnya, banyak juru kawih Sunda yang menjalani rekaman di studio Tan Deseng. Beberapa di antaranya yaitu Upit Sarimanah dan Titim Fatimah.

“Beliau salah seorang tokoh penting dalam sejarah rekaman, terutama di Kota Bandung,” ucap dia.

Tan Deseng, ucap Buky, masih menyimpan master rekaman juru-juru kawih tersebut secara rapi. Saat berbincang melalui ponsel, Tan Deseng ingin dokumentasi-dokumentasi terus rapi dan terawat.

“Beliau piawai memainkan berbagai instrumen musik tradisional Sunda maupun barat, di antaranya gitar, biola. Musikalitasnya begitu luas, memahami berbagai genre musik. Selaku operator dalam rekaman, mendiang memilki kepekaan akustik luar biasa. Dalam segi pengetahuan, misalnya sejarah, sangat me nguasai,” katanya.

Kini, Sang Jimat Awaking itu telah meninggalkan kita. Selamat jalan, Kang Deseng, kecintaanmu terhadap seni tradisi Sunda akan terus diingat dalam sejarah kebudayaan Sunda!

sumber : pikiran-rakyat.com

 

LEAVE A REPLY