Minat Bangun PLTU Batu Bara Kian Surut

0

Pelita.online – Data Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang memulai konstruksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sepanjang semester I-2019.

Laporan GEM menunjukkan pembangunan PLTU batu bara di Asean menurun tajam sejak 2017 lalu. Padahal sebelumnya, ASEAN digembar-gemborkan sebgai kawasan pertumbuhan industri PLTU.

Direktur Eksekutif GEM Ted Nace mengatakan turunnya minat membangun PLTU terkait dengan pembiayaan yang cukup tinggi.

Data GEM menunjukkan jumlah PLTU yang berada di tahan konstruksi pada 2016 sebesar 12.920 megawatt (MW). Namun jumlahnya menurun drastis menjadi 1.500 MW pada semester pertama 2019. “Untuk masuk ke tahap konstruksi, Anda harus meyakinkan lembaga pembiayaan untuk berkomitmen ratusan juta dolar AS. Di Asia Tenggara, sepertinya sekarang semakin sulit untuk meyakinkan orang untuk menginvestasikan uang sebanyak itu,” papar Nace dalam laporannya, dikutip Minggu (27/10).

Selain menurutnya minat membangun, ternyata GEM menemukan angka PLTU batu bara yang berhasil masuk tahap pra-konstruksi juga turun. Tercatat pada pertengahan 2015 kapasitas pra konstruksi mencapai 110.087 MW. Angka ini turun 52 persen jadi 53.435 pada pertengahan 2019.

Jika dibeberkan, tampak penyusutan memang terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Pada pertengahan 2016 sebesar 107.644 MW. Pada 2017, jumlah kapasitasnya kembali menyusut menjadi 88.147 MW.

Lebih lanjut, kapasitas pra konstruksi PLTU batu bara turun menjadi 72.862 MW di 2018 dan sebesar 53.435 MW di semester I 2019. Dalam 5 tahun terakhir, GEM merekam sebanyak 69.544 MW PLTU batu bara dalam tahap pra konstruksi batal lanjut ke tahap konstruksi.

Nace menuturkan angka-angka tersebut memberi sinyal surutnya pamor PLTU baru bara, terutama bagi negara eksportir utama baru bara seperti Indonesia dan Australia.

Direktur Program Batubara GEM Christine Shearer menuturkan tren menurunnya pembangunan terkait penolakan masyarakat dengan kehadiran PLTU batu bara karena tingginya dampak polusi. Kedua, teknologi energi baru terbarukan semakin murah dan berkualitas. Ketiga, banyak lembaga keuangan yang mundur dari pembiayaan terkait.

“Sehingga membuat pendanaan menjadi tantangan yang semakin meningkat untuk PLTU batu bara,” tuturnya.

Secara umum, peralihan energi batu bara menuju energi baru terbarukan tengah berlangsung di Asia Tenggara. Hal ini tercermin dari pembataasn pinjaman untuk pembangunan PLTU batu bara dari 110 lembaga keuangan, seperti DBS, OCBC, UOB, dan Mitsubishi UFJ.

Tak hanya itu, beberapa negara juga mulai mengambil langkah terkait energi terbarukan. Pada Januari 2019, Thailand menghapus dua PLTU batu bara utama yaitu PLTU Krabi 800 MW dan PLTU Thepa 2.200 MW dari rencana pengembangan pembangkit. Negeri Gajah Putih itu juga menunda kelanjutan pembangkit Thap Sakae 3.200 MW lantaran penolakan dari masyarakat.

Serupa, Vietnam mencapai target pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 6 tahun lebih awal. Sementara itu, Presiden Filipina Duterte dalam pidato State of the Nation Address September, secara mengejutkan menyatakan akan mempercepat energi terbarukan dan mengurangi penggunaan batu bara.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY