Nuansa Demokratis Pak Harto

0

KENANGAN bersama Pak Harto diawali ketika saya menerima Pak Harto dan Ibu Tien bertakziah ke kediaman ayah saya, Mas Isman, yang meninggal pada tahun 1982. Saya merasa bahwa hal ini menunjukan perhatian besar Pak Harto kepada sesama pejuang kemerdekaan. Sejak itu saya tidak hanya memandang Pak Harto sebagai pemimpin negara, melainkan juga sebagai orangtua. walaupun beliau tidak lagi menjadi Presiden, saya tetap melakukan silaturahim.

Sebagai putra seorang Pejuang Angkatan 45, sejak muda saya masuk jajaran Pengurus Golkar. saya juga aktif di Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI). Kiprah saya ini rupanya mendapat tempat tersendiri di hati Pak Harto. Sampai suatu ketika Pak Harto menelpon saya, dini hari menjelang makan sahur. Saya sungguh terkejut.

“Saya, Soeharto. Apakah Pak Hayono Isman bersedia Membantu saya di kabinet?” itulah ucap Pak Harto ketika meminta saya menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga yang dilantik pada tahun 1993. Ketika itu usia saya baru 36 Tahun.

Bagi saya, permintaan itu adalah kepercayaan sekaligus amanah. Sampai saat ini saya menghormati kepercayaan itu. Tanpa Pak Harto, saya mungkin tidak jadi menteri. Beliau menghubungi di saat Sahur sekaligus untuk mengetahui apakah calon menterinya menunaikan ibadah puasa atau tidak. Jadi ini penilaian terhadap ketaatan beribadah.

Pak Harto mendukung program-program para menterinya tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan keputusan. Dengan begitu, program-program olahraga bisa berjalan dengan baik di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pada masa saya menjabat Menpora pula, pemilihan ketua umum Komite Nasional Pemuda INdonesia (KNPI) dilakukan secara langsung. Pak Harto tidak marah meskipun calon yang saat itu didukung Mbak Tutut kalah. Ini menunjukkan Pak Harto adalah pemimpin yang demokratis.

Sisi lain Pak Harto yang saya amati adalah keteguhan Pak Harto menjadikan Pancasila sebagi landasan berbangsa dan bernegara. pemberontakan G30S/PKI di Tahun 1965 yang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis berhasil digagalkan Pak Harto. Kalau tidak, sejarah bangsa Indonesia akan berjalan lain. Dengan Pancasila, sampai sekarang negara kita tetap utuh.

Saya pikir, selayaknya kita mencontoh Pak Harto yang menghormati Presiden Soekarno dengan“mikul dhuwur mendem jero”. Itulah yang harus kita contoh dari seorangpemimpin.

Sumber : “Pak Harto The Untold Stories” – Hayono Isman

LEAVE A REPLY