Ombudsman Tagih Kajian Imbas Kerugian PP Transaksi Elektronik

0

Pelita.Online, Jakarta — Ombudsman Republik Indonesia meminta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melakukan kajian mitigasi dampak kerugian bagi negara dan pengusaha dari penerapan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan kajian mitigasi terkait dampaknya bagi keuangan negara dan nasib pelaku industri data center di Indonesia. Sebab, dalam revisi PP PSTE nantinya, perusahaan asing tak lagi wajib menempatkan pusat datanya di Indonesia.

“Jadi dampak buruknya harus dimitigasi bersama dengan pertimbangan ke depan. Pada prinsipnya, pertemuan ini sudah menemukan masalah perselisihannya,” imbuh Alamsyah, akhir pekan lalu.

Pada Jumat (1/2) lalu, Ombudsman melakukan diskusi dengan sejumlah Kementerian/Lembaga yang berkepentingan dalam revisi PP PSTE, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).

Proses revisi PP PSTE sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun lalu, tetapi hal itu mengundang kontra dari sejumlah pihak, khususnya pelaku usaha di sektor data center. Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan berpendapat hal ini juga sebenarnya mengganggu iklim politik.

“Makanya, mungkin yang menarik di sini nanti bagaimana memitigasi untuk mereka (pelaku usaha) yang terdampak, tapi Kementerian Komunikasi dan Informatika biar selesaikan materinya,” ujarnya.

Sementara itu, ia meminta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memilih waktu yang tepat untuk menyerahkan rancangan PP ke Sekretariat Negara (Setneg).

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan dalam draf revisi PP PSTE itu terdapat tiga klasifikasi data yang hanya bisa disimpan di Indonesia dan di luar negeri.

Tiga klasifikasi itu, yakni strategis, risiko tinggi, dan risiko rendah. Dari tiga itu, hanya data strategis yang wajib disimpan di Indonesia. Contohnya nomor induk kependudukan (NIK), kartu keluarga (KK), dan data dari badan intel. Sementara, dua klasifikasi lainnya bisa disimpan di luar negeri.

“Dari kami, sebenarnya ini sudah revisi yang terakhir, karena kan kemarin-kemarin sudah mendapatkan masukan dari berbagai pihak di Setneg,” tegas Samuel.

Selain itu, ia mengaku sudah berdiskusi dengan Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) yang kontra dengan rencana pemerintah tersebut. Asosiasi itu menilai negara bisa merugi hingga Rp85,2 triliun akibat revisi PP PSTE.

Sebelumnya, MASTEL melancarkan protes terkait kebijakan pemerintah dalam merevisi PP PSTE. Potensi kerugian itu datang dari investasi perusahaan asing yang hilang di Indonesia. Pasalnya, mereka tak lagi harus menempatkan data center di Indonesia, sehingga dana asing yang mengalir ke dalam negeri akan berkurang.


“Tapi bisnis ini akan mencari jalan keluarnya, maksudnya saat ini kami menciptakan situasi kondusifnya dulu. Ini kami benahi kok, kami atur infrastruktur,” terang Samuel.

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Koordinasi Telekomunikasi dan Informatika pada Deputi Bidang Koordinasi, Komunikasi, Informasi, dan Aparatur dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sigit Priyono menambahkan revisi PP PSTE sebaiknya diundur.

Sebab, masih ada aturan lain yang belum disahkan, yakni Undang-Undang (UU) perlindungan data pribadi. “Kami juga bilang waktunya disimpan dulu sebelum ada diskusi, membangun sebuah kebijakan nasional tentu harus ada ekulibrium antara keamanan dan ketahanan ekonomi,” pungkas Sigit.

CNN Indonesia

LEAVE A REPLY