Ondel-Ondel, Dipelihara Warga Tapi Ingin Dikikis Abdi Negara

0

Pelita.online – Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta merevisi Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Perda itu diketahui berisi tentang upaya melindungi dan melestarikan budaya Betawi di Ibu Kota, salah satunya ondel-ondel.

Usulan dari pucuk pimpinan Komisi yang menangani kesejahteraan rakyat itu meminta agar pemerintah melarang ondel-ondel digunakan untuk kegiatan meminta-minta atau mengamen. Dia menggunakan dalih untuk menjaga kehormatan ondel-ondel sebagai sebuah bentuk kebudayaan.

Pemprov DKI Jakarta melalui Sekretaris Daerah Saefullah berpendapat bahwa ondel-ondel harus dihadirkan di tempat acara yang bermakna dan dinikmati secara hikmat.
Alih-alih melakukan pembinaan, pelarangan ini justru dikhawatirkan tidak menyelesaikan masalah utama yaitu budaya Betawi yang kian hari semakin terkikis.

Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ayu Nova Lissandhi menganggap budaya tersebut salah satunya memang memiliki fungsi ekonomi, sehingga tak perlu dilakukan pembatasan ruang gerak.

Ayu melihat hingga saat ini belum ada upaya dari DPRD maupun Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan pembinaan terhadap pegiat seni folklor tersebut untuk melakukan inovasi. Padahal, panggung-panggung pertunjukan semakin tergerus.

“Yang diperlukan itu pembinaan dari hulu sampai hilir sebagaimana dahulu,” kata Ayu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (11/2).

“Meski pun saya sependapat jumlah dan intensitas ondel-ondel yang ngamen semakin bertambah dan pada beberapa kasus mulai menyertakan anak-anak, mengganggu lalu lintas,” tambah dia.

Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sempat berencana menertibkan dan membina pengamen ondel-ondel pada 2018 silam. Namun hingga kini, upaya tersebut belum terealisasikan dengan jelas.
Alih-alih memberikan pembinaan dengan konkret, usulan DPRD DKI Jakarta kini malah semakin jauh dari semangat Perda itu sendiri untuk melakukan pelestarian kebudayaan Betawi.

“Yang saya khawatirkan adalah Perda tersebut berada di bawah aturan pelestarian, sehingga pelarangan yang kaku dalam proses kebijakan yang tidak partisipatif justru akan menjadi bibit masalah baru,” kata Ayu.

Senada, sejarawan Jakarta, JJ Rizal pun beranggapan pelarangan ondel-ondel untuk kegiatan mengamen itu hanya akan berpotensi membuat budaya ini punah. Hal itu pun dianggapnya bertentangan dengan upaya pelestarian yang menjadi kewajiban payung hukum itu.

“DPRD DKI Jakarta tidak paham bagaimana sejarah budaya ondel-ondel. Maka merasa perlu merevisi Perda seolah dengan begitu akan menyelamatkannya,” kata Rizal saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (11/2).

“Padahal justru itu berpotensi membuat ondel-ondel mengalami ancaman kepunahan,” tambahnya.

Jika menilik sejarah, ondel-ondel memang berpanggung di jalanan. Oleh sebab itu, Rizal beranggapan bahwa pelarangan tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan sejarah ondel-ondel itu sendiri sehingga menjadi salah tafsir.

Ia lantas menjelaskan bahwa pelarangan ondel-ondel untuk mengamen sempat dilakukan Wali Kota Jakarta, Sudiro pada 1954 yang justru malah membuat budaya itu semakin terpinggirkan.

Menurut dia, DPRD bersama pemerintah DKI Jakarta perlu memahami bahwa terdapat jerih payah masyarakat dalam menyelamatkan ondel-ondel sebagai budaya hingga saat ini.

Lebih tepat apabila DPRD dan Pemprov DKI menjalankan program yang dapat mendidik para pegiat ondel-ondel, khususnya ondel-ondel keliling.

“Yang dilupakan adalah seniman ondel-ondel yang turun ke jalan ini terus mencari jalannya sendiri untuk membuat ondel-ondel selamat dan terus eksis. Sementara pemerintah tidak hadir dalam periode yang panjang untuk mengurus kebudayaan Betawi,” jelas dia.

Tak heran, kata Rizal, apabila kini penggunaan ondel-ondel itu semakin tak beraturan. Pasalnya, kampung-kampung yang dulu digunakan pegiat ondel-ondel untuk menjalankan pentasnya kini telah berubah menjadi kawasan bisnis.

Senada dengan hal itu, Budayawan Betawi, Ridwan Saidi yakin bahwa ondel-ondel adalah salah satu alternatif masyarakat untuk menafkahi hidupnya di tengah pembangunan kawasan bisnis dan perumahan yang begitu masif di Jakarta.

“(Anggota DPRD) harus berkaca. Revisi itu malah mempersempit peluang rakyat cari makan. Seharusnya, sekalian saja mengemis (tanpa ondel-ondel) juga dilarang. Kan sama saja esensinya,” jelas dia.

Ketimbang dilarang, Saidi lebih memilih langkah penertiban. Misalnya dengan mengatur tentang larangan kawasan yang tak boleh dilalui pengamen ondel-ondel.

“Ondel-ondel itu memang untuk diarak, bukan di pajang di kantor-kantor. Tapi memang penertiban harus dilakukan, jangan main di jalan besar, jalan raya. (Ondel-ondel) Berpenampilan juga dengan rapih dan baik (Mengikuti panduan budayanya),” pungkas dia.

Seperti diketahui, ondel-ondel ramai digunakan dalam pernikahan Betawi, kehadiran Ondel-Ondel menjadi salah satu atraksi menarik perhatian pengunjung. Dengan iringan lagu, tarian khas ondel-ondel, baju tabrak warna, hingga petasan, suasana menjadi meriah.

Namun kemeriahan itu ternyata bukan esensi keberadaan ondel-ondel. Di balik rupa dan dandanan meriah ondel-ondel, ia memiliki makna mendalam sekaligus berbau mistik.

Boneka besar yang kerap digunakan dalam pementasan itu dulu dikenal dengan nama ‘Barongan’ dan biasa digunakan sebagai upaya penolakan bala atau kesialan.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY