Politik, Kekuasaan, dan Prediksi: Jalan Berliku Menuju Pilpres 2019

0
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko Widodo dan calon presiden Prabowo Subianto

Pelita.Online – Pilpres 2019 kurang dari satu bulan lagi. Jajak pendapat masih menunjukkan Jokowi memimpin perolehan suara dan waktu semakin sempit bagi lawannya Prabowo untuk memutarbalikkan keadaan. Namun, melihat hasil mengejutkan dari pemilu di Malaysia dan Amerika Serikat belakangan ini menandakan jajak pendapat tidak selalu mencerminkan hasil di lapangan.

Menjelang Pilpres 2019 yang akan berlangsung tanggal 17 April mendatang, Future Directions International mensponsori diskusi panel berjudul Politik, Kekuasaan dan Prediksi – Jalan Menuju Pemilihan Presiden 2019 di Indonesia. Diadakan pada 18 Maret, acara ini dipandu oleh Indonesia Institute dan the Australia-Indonesia Youth Association Panel, menampilkan Dr Ian Wilson, Hadrian Djajadikerta, dan Ella S. Prihatini.

Beberapa topik yang dibahas oleh panelis meliputi: hasil yang diharapkan dari pemilihan; pengaruh islamisasi, populisme dan mayoritarianisme selama kampanye politik; kurang terwakilinya perempuan di parlemen; dan kekhawatiran tentang integritas pemilu.

 

Mayoritas jajak pendapat menunjukkan bahwa kandidat petahana Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo kemungkinan akan memenangkan pemilihan presiden, dengan jajak pendapat Roy Morgan baru-baru ini menunjukkan bahwa pada bulan Januari 2019 ia memimpin Prabowo dengan persentase 58 atas 42. Kini sangat tidak mungkin bahwa Prabowo akan mengatasinya dengan hanya satu bulan sebelum pemilu berlangsung.

Namun, kekecewaan yang signifikan dalam pemilihan baru-baru ini di Amerika Serikat dan Malaysia, di mana jajak pendapat menjelang pemilihan sama sekali tidak mencerminkan hasil akhirnya. Faktor-faktor yang mungkin akan menguntungkan bagi kubu Prabowo termasuk: kegagalan janji pemerintah saat ini tentang pertumbuhan ekonomi serta keputusan Jokowi untuk memilih ulama konservatif Ma’ruf Amin sebagai cawapres mendampinginya, yang dapat menyingkirkan basis dukungan liberalnya.

Sementara banyak liputan media terfokus pada pemilihan presiden, pemilihan legislatif harus dilihat sama pentingnya, jika tidak lebih penting. Pemilu Indonesia tahun 2019 kali ini untuk pertama kalinya akan secara serempak memilih presiden sekaligus anggota legislatif baru. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan mana yang akan didorong melalui parlemen.

Secara keseluruhan, hasil pemilihan legislatif kurang pasti jika dibandingkan dengan pemilihan presiden. Susunan parlemen baru akan sangat menarik bagi Australia sebagai salah satu negara tetangga terdekat Indonesia, karena akan menentukan apakah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang baru-baru ini ditandatangani akan diratifikasi oleh Indonesia dan, jika demikian, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meloloskannya.

Peran agama dalam politik Indonesia telah meningkat sejak tahun 2016 dan akan terus memainkan peran penting setelah pemilu kali ini. Telah terjadi peningkatan konservatisme di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan dalam kelompok pemuda seperti Pemuda Hijrah, yang memiliki jutaan pengikut di media sosial.

Meski itu bukan alasan untuk khawatir, beberapa kelompok dan bahkan elit politik telah mengambil unsur-unsur gerakan itu dan mengubahnya ke tujuan politik. Seringkali gerakan-gerakan politik itu bersifat konservatif, dengan memiliki unsur-unsur populisme atau mayoritarianisme. Gerakan itu dapat memiliki implikasi yang sangat nyata bagi Indonesia dan dapat mengancam proses demokratisasi di Indonesia, yang belum sepenuhnya matang.

Kurangnya representasi perempuan di parlemen Indonesia adalah masalah lain yang menjadi perhatian. Kecil kemungkinan bahwa akan ada peningkatan signifikan dalam hal itu di pemilu bulan depan. Saat ini, perempuan menempati 19 dari 560 (17,3 persen) kursi di DPR. Sebagian alasan di balik kurangnya keterwakilan mereka adalah rendahnya tingkat keberhasilan kandidat perempuan dalam pemilihan umum di Indonesia. Kurangnya perempuan di parlemen juga dapat menghambat gerakan untuk kesetaraan yang mendapat tantangan dari gerakan konservatif lainnya di Indonesia.

Integritas pemilu juga menjadi perhatian. Selama beberapa tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap banyak kasus korupsi dan suap oleh para kepala daerah, tetapi belum menyentuh pejabat tinggi negara. Banyak dari korupsi itu sangat terlibat dalam pembelian suara, dengan hingga sepertiga orang Indonesia diperkirakan akan menjadi sasaran praktik jual-beli suara tahun ini.

Dengan berpegangan pada Pilpres 2014, sekitar sepertiga rakyat Indonesia tidak akan memberikan suara atau golput. Yang tersisa hanya sepertiga orang Indonesia yang akan memilih dalam pemilihan legislatif dan tidak ditargetkan oleh praktik pembelian suara.

matamatapolitik.com

LEAVE A REPLY