Polri Jawab Temuan Ombudsman-Komnas HAM soal Pengamanan Demo 22 Mei

0

Pelita.online – Polri menanggapi rapid assessment (RA) atau penilaian cepat Ombudsman terkait tindakan polisi dalam pengamanan demonstrasi yang berujung ricuh pada 21-22 Mei 2019. Polri juga menanggapi pernyataan komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara terkait temuan awal penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat di peristiwa tersebut.

“Apa yang disampaikan Ombudsman masih ada diskusi lebih lanjut,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra kepada detikcom, Sabtu (12/10/2019).

Terkait pernyataan Beka, Asep menjelaskan, sudah ada rencana bersama antara Polri dan Komnas HAM untuk mengumumkan hasil investigasi setelah 20 Oktober nanti. Asep pun menilai ucapan Beka mewakili pribadinya, bukan Komnas HAM.

“Prinsipnya, dia mengatakan temuan, bukan kesimpulan. Karena rencananya (hasil investigasi) akan disampaikan nanti setelah tanggal 20 (Oktober). Secara kelembagaan, kan tidak boleh person yang menyampaikan, harus benar-benar secara hierarkis, organisasinya,” ucap Asep.

“Kalau dia mau menyampaikan itu, ya lengkap dong secara lembaga. Dalam pemahaman kita sekarang, dia menyatakan itu secara pribadinya, tidak mewakili lembaganya. Yang dipegang publik itu kalau kita bicara formal, tentunya pernyataan resmi,” sambung Asep.

Asep kemudian menuturkan, jika yang dimaksud kekerasan berlebihan oleh aparat, itu serupa kasusnya dengan pemukulan Andri Bibir oleh beberapa oknum Brimob. Hal tersebut pun sudah ditindak secara internal. Dia pun mengulas Perkap 01/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

“Kita sudah berbicara banyak kasus di 21-22 Mei, ada oknum Brimob yang mukulin di depan masjid, sudah kami tindak, Itu salah satu di antaranya. Sebenarnya kami ada Perkap tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang diatur mulai dari level 1 sampai 6,” terang Asep.

Pada level 1, digambarkan Asep, polisi hadir di tengah massa. Lalu di level 2, polisi mengimbau massa untuk menjaga ketertiban agar tak mengganggu aktivitas masyarakat lainnya. Selanjutnya di level 3, polisi dapat menyentuh massa jika dinilai akan melakukan tindakan berlebih, seperti menepuk pundak dan mengajak bicara.

“Di level empat, andaikan massa melakukan tindakan-tindakan berlebih, kita bisa menggunakan istilahnya tindakan tangan lunak, artinya kita bisa melakukan bela diri kalau dia melakukan perlawanan. Yang kelima, kalau dia sudah anarkistis, kita menggunakan tameng, gas air mata, tongkat,” papar Asep.

“Kalau kemudian mereka menyerang dengan batu, anak panah, dengan benda-benda yang membahayakan petugas dan masyarakat, itu sebenarnya polisi bisa melakukan tindakan tegas dengan tembakan. Tolong di-review peristiwa 21 sampai 23 Mei. Semestinya, kalau kita lihat secara keseluruhan, Polri mengambil tindakan di level 6,” tutur Asep.

Kendati demikian, lanjut Asep, Polri memilih bertahan dengan tidak menembaki perusuh karena melindungi demokrasi dan menghindari banyaknya korban. “Karena kita melindungi demokrasi di Indonesia, mencegah korban yang banyak,” tandas Asep.

Komnas HAM sebelumnya mengatakan ada temuan awal tentang penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat terkait penanganan kericuhan saat aksi 21-22 Mei 2019. Meski demikian, saat ini penyelidikan masih terus berlangsung.

Ombudsman juga telah memaparkan hasil evaluasi lewat rapid assessment(RA) atau penilaian cepat terkait tindakan Polri dalam pengamanan demonstrasi yang berujung ricuh pada 21-22 Mei 2019. Salah satu temuannya adalah terkait cara bertindak Polri menggunakan senjata dan alat-alat kepolisian, yang dalam penggunaannya seharusnya dilaporkan ke atasan setiap hari.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY