Sidang Perdana Perppu Ciptaker, MK Minta Perbaikan Permohonan 14 Hari

0

Pelita.Online – Mahkamah Konstitusi (MK) meminta penggugat uji formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menyempurnakan permohonan mereka.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang perdana uji formil Perppu Ciptaker yang dipimpin ketua panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Kamis (19/1).

Di akhir sidang perdana itu, panel hakim konstitusi memberikan waktu selama 14 hari kepada para pemohon untuk menyempurnakan permohonan yakni selambat-lambatnya hingga 1 Februari 2023 WIB.

Naskah permohonan yang telah disempurnakan atau diperbaiki dapat diserahkan kepada kepaniteraan MK untuk kemudian dijadwalkan sidang berikutnya.

Uji atas Perppu Ciptaker yang disidangkan di MK itu ada dua perkara yakni Permohonan Nomor 5/PUU-XIX/2023 dan Nomor 6/PUU-XIX/2023.

Permohonan Nomor 5/PUU-XIX/2023 diajukan Hasrul Buamona (Dosen Hukum Kesehatan/Pemohon I), Siti Badriyah (Pengurus Migrant Care/Pemohon II), Harseto Setyadi Rajah (Konsultan Hukum/Pemohon III), Jati Puji Santoro (Wiraswasta/Pemohon IV), Syaloom Mega G. Matitaputty (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon V), dan Ananda Luthfia Rahmadhani (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon VI).

Sedangkan permohonan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2023 diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Awalnya kuasa hukum pemohon pada perkara Nomor 5/PUU-XIX/2023, Viktor Santoso Tandiasa, mengatakan pihaknya memandang subjektivitas Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan perppu harus berdasarkan pada keadaan yang objektif.

Viktor menyebut alasan pihaknya melayangkan permohonan uji formil merujuk pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan UU Nomor 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Salah satu pertimbangan dalam putusan itu adalah naskah akademik dan rancangannya tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Menurutnya, tata cara pembentukan UU tersebut tidak berdasarkan pada cara dan metode yang pasti, dan terjadi pula perubahan penulisan beberapa substansi pasca-persetujuan bersama DPR dan Presiden serta bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga UU tersebut dinilai cacat formil.

“Namun ternyata Pemerintah menerbitkan Perppu (Ciptaker) dengan tidak memenuhi amanat serta amar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan tidak memenuhi Putusan Nomor 139/PUU-VII/2009. Bahwa tindakan ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil,” ujar Viktor dalam sidang perdana uji formil Perppu Ciptaker di Ruang Sidang Panel.

Sementara itu Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023 yang diwakili Saut Pangaribuan menyebut 55 Pasal yang terdapat pada Perppu Ciptaker itu bertentangan dengan UUD 1945.

Salah satu alasannya, kata dia, adalah norma yang terdapat pada Perppu tersebut menghilangkan hak konstitusional para buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam bidang hukum ketenagakerjaan, Saut menyebutkan bahwa Pemohon tidak melihat adanya kekosongan hukum. Sebab hingga saat ini masih terdapat UU 13/2003 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih tetap berlaku di Indonesia.

“Oleh karena itu, pada norma ini terdapat ketidakjelasan rumusan sehingga justru menimbulkan ketidakpastian hukum,” sebut Saut dalam sidang yang dihadiri secara daring.

Terhadap kedua perkara itu, anggota panel Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan uji formil dan materil tidak bisa disamakan sehingga ada perlakuan khusus terhadap pengujian formil.

Manahan menyebut pemohon uji formil Perppu Ciptaker belum menguraikan syarat dan hubungan langsung antara norma yang diujikan dengan keberadaan hak konstitusional para pemohon.

Ia pun meminta para pemohon membuat penjabaran mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan diri sebagai pihak pada perkara ini.

Selain itu, Manahan juga menyoroti tentang pihak yang menjadi wakil dari organisasi di dalam dan luar pengadilan pada pengajuan permohonan ini.

Anggota panel lain, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menyarankan para pemohon dua perkara itu mencermati isi Peraturan MK Nomor 2/2021 yang mengatur pengujian undang-undang dan Perppu yang memiliki batas waktu.

“Ini menjadi pintu masuk terkait eksistensi pengujian materil dari sebuah Perpu,” ujar Daniel.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY