Film “The Lawyers”, Menertawakan Dunia Hukum

0

Pelita.online – Gambaran umum tentang profesi lawyers atau pengacara di Indonesia adalah mereka yang berpakaian selalu berjas, rapi layaknya seorang boss perusahaan. Dalam ingatan kolektif, masyarakat mengenal sejumlah lawyer top yang gaya penampilannya norak bahkan suka memamerkan harta benda miliknya. Seringkali sosok mereka nyaris tidak berbeda dengan para selebritis; hidup glamour bahkan lebih artis daripada artis.

Pencitraan terhadap profesi pengacara ini tidak terlepas dari berbagai kasus yang ditangani, yang melibatkan pejabat publik dan tokoh publik. Semakin besar kasus yang ditangani pengacara akan terbuka peluang mengambil keuntungan dari jasa profesinya.

Begitu indahnya kehidupan seorang lawyer, yang bahkan terkadang ditakuti oleh masyarakat awam. Namun, dibalik semua yang tampak mewah itu terdapat sisi “gelap” profesi lawyer dan dunia hukum yaitu sisi idealisme untuk menolong orang atau masyarakat kelas bawah yang butuh perlindungan hukum. Mereka, para pengacara hidup dari “mengolah” kasus-kasus yang ada. Urusan sepele bisa jadi panjang dan bertele-tele.

Pengacara kelas kakap yang sudah punya tim khusus biasa berkantor di tempat mewah, dan para pengacara kelas pokrol bambu lazim berkantor sederhana yang letaknya di perkampungan dan gang-gang kecil kumuh. Untuk menghidupkan kantor, pengacara yang termasuk golongan ‘pokrol bambu’ (kasus apa pun disikat untuk dapat duit) ini berani berutang dengan jaminan dibayar jika dapat klien.

Pada akhirnya, baik pengacara mewah maupun kelas bawah harus bertempur di persidangan perkara klien mereka. Siapa yang akan menang perkara, sangat tergantung pada negosiasi.

Film The Lawyers (Pokrol Bambu) mengangkat dinamika kehidupan para lawyer. Dari yang baru merangkak mengais kasus, sampai yang kelebihan order kasus. Sisi gelap, kritik dan celah hukum diungkap secara vulgar dalam fragmen berbalut komedi satir.

Tokoh penting di film ini adalah pengacara sukses dan flamboyan RM Wicaksono SH (Roy Marten) dan pengacara yang rindu kasus yaitu Suparman SH (Dicky Chandra) dan rekan-rekannya.

Keduanya terlibat dalam kasus perceraian rumahtangga pasangan muda. Wicaksono membela pihak suami sebagai tergugat, dan Suparman membela pihak istri.

Upaya mediasi hingga janji memenangkan kasus disampaikan Wicaksono pada kliennya, yang merupakan anak pengusaha.

Sedangkan Suparman SH yang masih bujangan dan hidupnya kembang-kempis, terlibat hubungan asmara pada kliennya yang cantik.

Sementara, rekan-rekan Suparman SH yang notabene adalah para pemula, sibuk mencari klien sambil berupaya menghidupkan kantor.

Kehidupan kantor pengacara ini sangat tergantung pada pemilik toko sembako, yang kerap jadi tempat berhutang.

“The Lawyer” tidak sungkan membuka aib pengacara dan hukum dalam menangani kasus yang melibatkan panitera.

Dialog-dialog dan idiom ditampilkan melalui celoteh dan argumen pemain sebagai bentuk katarsis, mengingat wilayah hukum selama ini sulit dikritik apalagi ditertawakan.

Seperti dalam scene dialog Wicaksono tentang hukum, dia menyebut,”Ketidakpastian hukum di sini adalah ketidakpastian itu sendiri..”

Atau pada scene lainnya dia dengan santai mengatakan “Semua bisa diatur di sini, aturable.”..

Beberapa dialog dan adegan dalam film ini berhasil mengundang tawa lirih dan pahit. Tim Suparman SH berjibaku mencari klien yang umumnya berakhir secara probono.

Drama komedi satir tentang dunia advokasi ini cukup terbuka jika tidak ingin disebut vulgar karena tim produksi adalah para lawyer aktif. Mereka memotret dengan gamblang profesi pengacara yang tidak melulu hidup serius dikepung urusan hukum.

Jika urusan hukum seringkali membuat jidat berkerut, maka film ini berusaha meluruskan kerutan itu. Film The Lawyers besutan sutradara Azar Fanny mulai tayang 16 Mei 2019.

LEAVE A REPLY