Melihat Kebijakan Pemerintah Tekan Rokok saat JK Jadi Wapres

0

Pelita.online – Jusuf Kalla (JK) mengeluarkan pernyataan ‘dosa’ ketika ia menjadi wakil presiden. Ia mengaku gagal menekan konsumsi rokok RI selama menjadi wakil presiden baik pada periode 2004-2009 maupun 2014-2019.

JK bilang selama menjadi wapres, ia telah mengupayakan berbagai cara untuk mengurangi konsumsi rokok di dalam negeri. Namun sayang usahanya tak berbuah.

Konsumsi dan jumlah perokok di Indonesia justru malah naik. Data Kementerian Keuangan mencatat jumlah perokok meningkat di kalangan perempuan dari 2,5 persen menjadi 4,8 persen pada akhir tahun 2018.

Begitu pula dengan perokok kalangan anak yang naik dari 7 persen menjadi 9 persen.

“Ini juga tentu saya ikut bersalah ya, 2 kali jadi wapres, walaupun saya dalam kondisi dua kali kabinet itu berusaha mengupayakan agar rokok dikurangi, pajaknya dinaikkan ternyata tidak terlalu berhasil, karena banyak juga pendukungnya termasuk dalam pemerintahan,” ujarnya dalam acara International Virtual Conference 2020, Rabu (9/12).

Lantas, apa saja upaya yang dilakukan JK dan pemerintahannya menekan konsumsi rokok?

Salah satu upaya yang dilakukan demi menekan konsumsi rokok dilakukan lewat kewajiban produsen mencantumkan gambar peringatan bahaya merokok di muka bungkus rokok. Kewajiban tertuang dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

PP mengatur kaidah pencantuman gambar harus berada di atas kemasan sisi lebar depan dan belakang masing-masing seluas 40 persen dan diawali dengan kata ‘peringatan’.

Gambar dan tulisan peringatan harus jelas, menggunakan huruf berwarna putih dengan dasar hitam dan mencolok. Ini guna memastikan konsumen mendapat peringatan dan menyadari dampak merokok untuk kesehatan.

Namun, peraturan tersebut baru efektif pada Juni 2014.

Tak hanya itu, JK juga sempat vokal menyuarakan keinginannya menaikkan tarif cukai rokok. Pada 2016, ia bilang pemerintah mempertimbangkan dua opsi dalam mengurangi konsumsi rokok masyarakat.

Pertama, menaikkan tarif cukai. Kedua, meminta produsen menaikkan harga jual rokok lebih dulu.

Menurut JK, jika cukai rokok dinaikkan maka otomatis hal sama terjadi pada harga. Sebaliknya, jika harga rokok dinaikkan lebih dulu, maka persentase cukai dapat ditentukan dalam uu.

Namun, kebijakan diakui JK sulit dilaksanakan. Pasalnya, kebijakan bersentuhan langsung dengan petani tembakau, pengusaha dan elite industri.

Ditambah dengan sentimen pemilu pada 2019 lalu, kebijakan ditunda dan baru diumumkan di pengujung jabatan JK yakni pada September 2019.

Setelah disepakati Jokowi-JK, tarif cukai rokok naik sebesar 23 persen terhitung sejak 1 Januari 2020. Kenaikan tarif cukai membuat rata-rata harga jual eceran rokok diperkirakan meningkat 35 persen dari harga jual sebelumnya.

Diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemerintah mengatakan kenaikan cukai rokok ini guna menekan konsumsi khususnya dari kalangan perempuan dan anak-anak remaja.

“Kami memutuskan bahwa kenaikan ditetapkan sebesar 23 persen untuk tarif cukainya dan 35 persen untuk harga jualnya. Ini akan disampaikan di PMK untuk average-nya 23 persen tarif cukai dan 35 persen untuk harga jual,” ujar Bendahara Negara kala itu.

Aturan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 136/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY