Mudarat Investasi Miras Tak Sebanding dengan Maslahat Ekonomi

0

Pelita.online – Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau minuman beralkohol di Indonesia. Syaratnya, investasi hanya dilakukan di daerah tertentu dan memperhatikan budaya serta kearifan lokal.

Ketentuan ini tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Persyaratan, untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua, dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat,” tulis lampiran III perpres tersebut, dikutip Senin (1/3).

Tapi sebenarnya investasi itu juga terbuka untuk daerah lain. Syaratnya, harus mendapat ketetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.

Jokowi juga memberi restu investasi bagi perdagangan eceran miras masuk daftar bidang usaha yang diperbolehkan. Lagi-lagi, dengan syarat jaringan distribusi dan tempatnya khusus.

Restu Jokowi sontak menuai pro kontra di masyarakat. Dari sisi manfaat, setidaknya mungkin ada basis perhitungan ekonomi yang membenarkan, namun teriakan lebih banyak mudarat juga tak kalah kencang, khususnya bila ditinjau dari sisi sosial dan keagamaan.

Hal ini yang menjadi landasan bagi Ekonom Indef Eko Listiyanto mengatakan bahwa izin investasi miras sejatinya lebih banyak mudarat ketimbang maslahat.

“Meski sedikit banyak ada hitung-hitungan manfaat ekonominya, tapi rasanya belum sebanding dengan dampak sosial yang ditimbulkan di mana banyak kasus kekerasan dan masalah sosial yang dipicu dari konsumsi miras,” kata Eko kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/3).

Memang, menurut Eko, investasi pada sebuah industri, entah sektor apa pun, bisa memberi dampak positif bagi ekonomi minimal dari segi penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara, dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Tapi, investasi miras masih perlu dipertimbangkan lagi.

Dari sisi penerimaan negara dalam bentuk cukai, misalnya. Pada 2020, penerimaan cukai dari ethil alkohol sebesar Rp240 miliar dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA) Rp5,76 triliun.

Sumbangan cukai MMEA menjadi tertinggi kedua dalam total sumbangan cukai ke negara yang mencapai Rp176,31 triliun. Tapi, sumbangan cukai terbesar masih dari rokok dan hasil tembakau mencapai Rp164,87 triliun.

“Sumbangan cukai dari miras sebenarnya tidak terlalu besar dan perlu digarisbawahi kalau pun pemerintah berharap cukai akan bertambah, tapi kan bukan itu tentu yang diharapkan, karena fungsi penerimaan cukai bukan untuk penerimaan negara semata, tapi lebih ke pengendalian konsumsi suatu hal,” jelasnya.

Selanjutnya, perhitungan menggerakkan ekonomi masyarakat. Dalam benaknya, Eko sempat berpikir mungkin pembukaan izin investasi miras di sejumlah daerah tertentu dimaksudkan karena daerah itu merupakan destinasi wisata. Sehingga, konsumsinya lebih untuk menunjang turis ketimbang masyarakat lokal.

Tapi, sambungnya, perlu diingat bahwa daerah lain pun dalam lampiran perpres bukan tidak mungkin pada akhirnya membuka aliran investasi miras selama mendapatkan persetujuan menteri yang merupakan usul dari gubernur.

“Jadi ketika aturan ini berlaku, fungsi kontrol yang ketat harus ada dari gubernurnya juga,” imbuhnya.

Masalahnya, bila nanti investasi miras terbuka di empat provinsi saja, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua, lantas apa tujuannya?

“Apakah untuk menarik kedatangan turis, saya rasa tidak juga, karena turis datang ke Bali bukan karena tertarik mirasnya, tapi alamnya. Jadi, kalau mau untuk stimulan wisata dan investasi, juga tidak tepat,” paparnya.

“Oke lah bila kebijakan ini keluar ketika pariwisata lagi booming-booming-nya, tapi ini kan tidak, lagi pandemi. Wisatawan mancanegara sepi, industri lagi jatuh, jadi bukan stimulan yang tepat,” terang dia.

Eko juga memikirkan nasib pada pengusaha miras lokal di tanah air. Sebab, kaca mata Eko melihat pembukaan investasi miras sejatinya lebih ditujukan kepada perusahaan besar dengan produknya sendiri.

Ia sangsi bila perusahaan besar ini mau berinvestasi di Indonesia dengan merangkul produsen miras lokal, misalnya produsen arak Bali. Karena tentunya, investor besar ingin investasi pada industri dengan skala produksi besar, bukan yang bermitra dengan UMKM.

“Kalau mau kembangkan kearifan lokal, tentu bisa langsung ditujukan bantuan ke mereka dan justru dibentengi dari investor asing dengan produk mereka sendiri. Bukan justru mereka dibiarkan bertarung bebas dengan perusahaan besar, yang ujungnya UMKM dan lokal kalah,” tuturnya.

Di sisi lain, Eko mengatakan restu dari Jokowi ini sebenarnya kontraproduktif dengan kebijakan lain. Pertama, merger tiga bank syariah BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).

Kedua, Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Rencana pembentukan bank syariah jelas karena pemerintah ingin mengembangkan ekonomi dan keuangan berbasis syariah di dalam negeri, yang mendapat dukungan dari berbagai kalangan karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim mayoritas.

Sementara GNWU, diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran berwakaf atau bersedekah dari para masyarakat, khususnya masyarakat muslim. “Ini kontra-produktif, masa semua kebijakannya mau di-blended? Jadi, sebaiknya ditinjau ulang,” imbuhnya.

Senada, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mengamini pembukaan keran investasi miras di dalam negeri sejatinya lebih banyak mudarat daripada maslahatnya.

Pertama, dari hitung-hitungan penerimaan negara. Dalam catatannya, kontribusi cukai dari miras sejatinya terus berkurang dari tahun ke tahun, setidaknya dalam empat tahun terakhir periode 2017-2020.

Pada 2020 saja misalnya, sumbangan penerimaan MMEA hanya Rp5,76 triliun atau turun 21 persen dari Rp7,34 triliun pada 2019. “Ini karena konsumsinya berkurang juga. Pada 2019, rata-rata konsumsi miras 0,41 liter per tahun per kapita. Dengan potensi konsumsi yang rendah, maka sebenarnya prospek (penerimaan dan ekonominya) juga tidak besar,” kata Yusuf.

Kedua, dari hitung-hitungan serapan tenaga kerja. Menurut Yusuf, jumlahnya tidak akan banyak karena industri ini bukan padat kerja seperti manufaktur lainnya, meskipun belum ada hitungan-hitungan pasti yang bisa dibaginya kepada redaksi.

Ketiga, miras mendapat resistensi dari banyak pihak. Hal ini rentan menimbulkan penolakan yang berujung ketidakpastian izin dan iklim bisnis ke depan.

Begitu juga dengan skema izin yang dibuka di empat provinsi, tapi tidak menutup kemungkinan bisa dibuka juga di daerah lain selama ada izin dari pemerintah.

“Padahal ketidakpastian ini paling tidak disukai oleh investor. Jadi lebih banyak hal-hal yang bertolak belakang dengan izin investasi miras di Indonesia,” pungkasnya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY