Paradigma Pemberian Insentif Pajak di Sektor Digital Perlu Penyesuaian

0
Pengguna OVO SmartCube Vending Machine mencoba membeli minuman ringan melalui aplikasi OVO dengan me-scan QR Code yang ada dilayar OVO SmartCube Vending Machine, Jakarta, Selasa 15 Oktober 2019. OVO SmartCube Vending Machine yang pertama di Indonesia dengan memiliki kemampuan real-time data analysis dari pengalaman digital interaktif, sehingga mampu menyesuaikan produk dengan kebutuhan dan kebiasaan pengguna. OVO berencana menambah 500 OVO SmartCube Vending Machine di beberapa kota di Indonesia hingga akhir 2020.

Pelita.online – Tren pertumbuhan industri digital yang kian masif terus memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Namun agar bisa berkontribusi secara optimum, pemerintah perlu mengubah paradigma dalam pemberian insentif bagi para pelaku maupun investor di sektor digital ini. Apalagi sejumlah negara juga sudah melakukan hal yang serupa guna menggaet investasi yang kini sedang booming, apalagi sejak adanya pandemi.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengakui, insentif pajak selama ini dibangun dalam paradigma industri pionir. Menyikapi perubahan zaman, pemerintah menurutnya sudah menyelesaikan banyak aturan, namun belum mengubah paradigmanya. Padahal, ekonomi digital merupakan 1 dari 18 sektor strategis yang mendapatkan tax holiday.

“Asumsi peraturan menteri dibuat tapi belum cover paradigma itu, masih heavy industry dan masih sifatnya industri hulu yang asumsinya fisik. Ini ada paradigma baru digital yang lebih padat modal dalam arti opex (operational expenditure) bukan capex (capital expenditure) dan ini perlu penyesuaian,” kata Yustinus dalam Beritasatu Media Holdings CEO Power Breakfast “Kebijakan Fiskal dan Insentif bagi Investasi Pertumbuhan Ekonomi Digital” di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (20/11).

Pemerintah berharap pelaku usaha ekonomi digital bisa memanfaatkan tax holiday. Di sisi lain, diakuinya ekonomi digital memang perlu ada penerjemahannya lebih detail seperti apa. Hal itu tercermin dari penolakan investasi di aplikasi pembayaran, karena dinilai hal tersebut diluar yang diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Padahal aplikasi pembayaran secara jelas masuk dalam ekonomi digital.

Untuk itu, Yustinus mengusulkan agar asosiasi digital membuat surat yang ditembuskan kepada Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Kemaritiman dan Investasi, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

“Kalau usul saya praktis saja, asosiasi yang ada bikin surat. Karena terus terang ini menurut saya pribadi ini termasuk area yang belum terpikir birokrasi. Jadi, perlu knowledge pemerintahnya,” pungkas dia.

Lebih lanjut, PMK dikatakannya bersifat sangat dinamis dan diubah setiap tahun. Adapun, PMK terakhir disusun saat ada Omnibus Law Cipta Kerja. Sehingga, menurutnya ini saat yang tepat untuk mengubah paradigma pemerintah terkait sektor digital.

“Momennya bagus pas ada Omnibus Law, ada perubahan paradigma. Silahkan, nanti bisa diakomodir. Rasanya bukan sesuatu yang mustahil,” tegas Yustinus.

Apalagi, pemerintah menyadari Indonesia memiliki potensi digital yang terbesar dan tercepat perkembangannya di Asia Tenggara dengan pertumbuhan rata-rata 49% per tahunnya. Ditambah adanya lebih dari 2.000 perusahaan rintisan baru (startup). Belum lagi ditambah 175 juta pengguna internet di Tanah Air. “Ini menjadi potensi besar ekonomi digital di Indonesia akan bertumbuh dan menjadi terdepan,” ungkapnya.

Digitalisasi, sambung Yustinus jadi kunci, khususnya di masa pandemi. Bahkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan menurutnya lahir melalui jalur digital, tanpa adanya temu fisik guna menghindari Covid-19. “Semua pindah ke platform digital dan Indonesia negara paling potensial di ASEAN,” kata Yustinus.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY