Pelemahan Rupiah Menekan Industri Makanan dan Minuman

0

Pelita.Online – Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan pelemahan pada April 2018. Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan hingga nyaris menyentuh Rp 14 ribu per dolar AS mulai Jumat (20/4).

Pelemahan nilai tukar rupiah dinilai dapat menekan industri makanan dan minuman dalam negeri. Sebab meningkatnya dolar Amerika Serikat bakal berpengaruh ke beberapa komponen yang kerap diimpor dari luar negeri.

“Ada pengaruh ke bahan baku, kedua energi,” kata Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (23/4).

Menurut Adhi, hingga saat ini kondisi rupiah masih berada di ambang batas yang dapat ditoleransi. Namun ketika menyentuh level Rp 14.000 per dolar,  industri menyebut bakal mencapai titik kritis.

Adhi pun berharap agar rupiah tetap stabil ke depannya. Menurut Adhi, stabilitas rupiah penting karena industri makanan dan minuman telah memiliki perencanaan dan kontrak tahunan dengan pihak luar.

“Kalau tiba-tiba melonjak naik itu kan agak repot juga,” kata Adhi.

Menurut Adhi, untuk bisa mengantisipasi ini diperlukan adanya dorongan untuk meningkatkan ekspor. Hal ini untuk menutupi tingginya impor bahan baku dan energi yang akan terimbas pelemahan nilai tukar rupiah.

Hanya saja, nilai impor industri makanan dan minuman saat ini masih lebih tinggi dibandingkan ekspor. Adhi menjelaskan, neraca ekspor-impor industri makanan dan minuman pada 2017 defisit sebesar US$ 1,3 miliar, meski secara keseluruhan masih positif karena kontribusi sawit.

“Makanya beberapa perusahaan memikirkan bagaimana kami harus imbangi dengan ekspor sebanyak-banyaknya supaya bahan baku terimbangi,” kata Adhi.

Adapun, ekspor dapat didorong dengan pemerintah memberikan dukungan bunga pinjaman, terutama ke pasar Asia. Menurut Adhi, saat ini banyak industri makanan dan minuman lokal yang telah masuk ke pasar India, China, Filipina, dan Jepang.

Selain itu, pemerintah juga harus menegosiasikan perjanjian dagang dengan berbagai negara agar industri makanan dan minuman lokal bisa mendapatkan keringanan bea masuk. Ini dapat dilakukan dengan barter komoditas dan investasi.

Adhi mengatakan, masih banyak negara yang menjadi target pasar industri lokal memberikan bea masuk besar. Dia mencontohkan negara-negara Afrika yang hingga saat ini masih memberikan bea masuk di atas 25%. Indonesia, lanjut Adhi, kalah bersaing dengan Thailand dan China yang mendapatkan kemudahan fasilitas di sana.

“Ide kami itu tadi trade investment, kemudian barter. Kalau dua itu disetujui dan disepakati kita bisa lebih mempercepat (ekspor),” kata dia.

Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kecenderungan importir untuk memegang dolar sebelum dolar bertambah mahal.

“Importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal,” ujar dia kepada Katadata.co.id.

Selain itu, Bhima mengatakan investor berspekulasi terkait kenaikan bunga dana Bank Sentral AS pada rapat 1-2 Mei 2018 mendatang. Spekulasi tersebut membuat arus dana asing keluar (capital outflow) dari pasar saham mencapai Rp 7,99 triliun dalam satu bulan terakhir.

“Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun,” katanya.

Bhima memperkirakan, permintaan dolar AS naik pada triwulan II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.

Katadata.co.id

LEAVE A REPLY