PR Pemerintah Menumpuk untuk Bawa Investor Jepang Masuk RI

0

Pelita.online – Pemerintah Jepang bakal mengucurkan insentif kepada perusahaan asal negaranya yang merelokasi pabrik mereka dari China ke Jepang atau ke negara-negara Asia Tenggara. Kebijakan ini semata-mata dilakukan demi mengurangi ketergantungan terhadap manufaktur China.

Tentu, Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat. Kesempatan ini tak boleh disia-siakan begitu saja. Apalagi, investasi menjadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Jika realisasi investasi meningkat, maka dampaknya akan positif bagi perekonomian domestik yang sedang terpuruk akibat pandemi covid-19.

Namun, menarik investor untuk menanamkan dananya di Indonesia bukan perkara mudah. Proses perizinan yang berbelit-belit kerap menjadi momok bagi pengusaha.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengakui investor merasa muak dengan sistem perizinan investasi di Indonesia.

Beberapa aturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) saling tumpang tindih, sehingga membuat investor kebingungan. “Soal perizinan ini, teman-teman (investor) muak,” terang Bahlil dalam video conference, dikutip Kamis (23/7).

Menurut dia, masih ada arogansi sektoral di masing-masing kementerian/lembaga (k/l). Selain itu, beberapa pihak juga ‘bermain-main’ dengan birokrasi perizinan berusaha.

Jangan heran, investor semakin dibuat bingung saat hendak menanamkan dananya di dalam negeri. Catatan, ini baru soal izin usaha, belum masalah lainnya.

Ekonom dari Perbanas Institute Piter Abdullah Redjalam menilai proses perizinan berusaha yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya salah satu faktor yang membuat investor malas berinvestasi di Indonesia. Faktor lainnya adalah pembebaasan lahan dan aturan tenaga kerja di Indonesia.

“Indonesia memang bukan pilihan utama bagi investor, khususnya Jepang. Tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah-marah karena tidak ada pabrik yang relokasi dari China ke Indonesia. Ini masalahnya banyak. Perizinan usaha hanya salah satu. Masih ada pembebasan lahan dan upah,” ucap Piter.

Sekadar mengingatkan, 33 perusahaan memutuskan relokasi dari China pada 2019 lalu. Namun, tak ada satu perusahaan pun yang mau bergeser ke Indonesia.

Mayoritas atau sebanyak 23 perusahaan memilih pindah ke Vietnam. Sisanya, 10 perusahaan pindah ke Malaysia, Kamboja, dan Thailand.

Kondisi itu seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia. Namun, masalah yang sama masih terjadi sampai sekarang.

Proses perizinan tumpang tindih, pembebasan lahan terbilang rumit, dan aturan ketenagakerjaan dinilai menyulitkan dunia usaha. Piter pesimistis perusahaan Jepang bakal merelokasi pabriknya ke Indonesia.

“Misalnya masalah lahan, Indonesia ini kan sistemnya demokrasi. Berbeda dengan Vietnam yang sosialis. Lahan untuk investasi sudah diatur oleh pemerintah. Semua tanah milik pemerintah, masalah lahan tidak masalah,” tutur Piter.

Ia bilang pemerintah perlu melakukan koordinasi yang lebih ketat dengan daerah dalam menyediakan lahan bagi investor. Jangan sampai, investor kesulitan dalam mencari lahan untuk membangun pabriknya.

Kemudian, Piter menyarankan pemerintah perlu meracik lagi aturan ketenagakerjaan agar tidak membuat calon investor kabur. Misalnya, formula kenaikan gaji karyawan per tahunnya.

Aturan upah karyawan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam Pasal 44 Ayat 2 disebutkan bahwa formula perhitungan upah dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

“Perspekstif pengusaha tidak nyaman. Kenaikan upah minimum itu pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Jadi, upah pasti naik. Kalau jadi bos, maka harus menyiapkan kenaikan gaji setiap tahun,” terang Piter.

Aturan itu sebenarnya positif untuk karyawan. Namun, investor merasa hal tersebut memberatkan arus kas perusahaan.

“Ditambah aturan soal pesangon. Ketentuan aturannya panjang dan mahal. Jadi investor berpikir mengenai itu, masuk ke Indonesia artinya bayar gaji harus naik terus,” jelas Piter.

Situasi ini berbeda dengan Vietnam. Pengusaha memiliki keleluasaan dalam menentukan kenaikan gaji bagi pekerja.

“Kalau di Indonesia karena sistemnya demokrasi jadi apa-apa demo, kalau di Vietnam pegawai tenang. Pengusaha tinggal bilang sama pemerintahnya kalau ada apa-apa,” kata Piter.

Kendati begitu, bukan berarti Indonesia harus meniru 100 persen kebijakan yang diberlakukan oleh Vietnam. Piter menyatakan pemerintah Indonesia hanya perlu membuat aturan yang lebih fleksibel agar sesuai dengan kemampuan pengusaha.

“Potensi pasar Indonesia itu besar. Kalau investor masuk ke Vietnam orientasinya global. Kalau masuk Indonesia bukan hanya global, tapi pasar Indonesia juga sangat menarik. Tapi PR pemerintah banyak,” tutur Piter.

Senada, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat Pemerintah Indonesia perlu memperbaiki berbagai regulasi di Indonesia. Ia turut menyoroti sistem perizinan berusaha di dalam negeri.

Bukan hanya itu. Pemerintah juga harus memastikan kebijakan yang dibuat tidak berubah-ubah di tengah jalan, sehingga investor merasa dirugikan.

“Jangan sampai izin berusaha sudah mudah, operasional diganggu. Tiba-tiba kebijakan berubah. Itu akan berpengaruh. Investor tentu mau beroperasi secara tenang. Jangan diberikan beban macam-macam,” terang Yose.

Ia menilai banyak beban yang diberikan kepada investor ketika hendak menanamkan dananya di Indonesia. Salah satunya adalah tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

“TKDN ada aturan minimalnya berapa persen, belum apa-apa sudah ada aturan ketat. Padahal, kalau 5 tahun atau 10 tahun investor akan melihat prospek pasar di Indonesia dan menggunakan komponen dalam negeri,” kata Yose.

Jika pemerintah tak segera memperbaiki kebijakan yang ada, jangan harap investor Jepang memilih Indonesia sebagai tempat tujuan investasi. Sebab, pengusaha akan menghitung untung dan rugi secara detail sebelum membuka usaha di luar negeri. “Potensinya kecil investor Jepang merelokasi ke Indonesia,” jelasnya.

Berdasarkan data BKPM, Jepang berada di urutan keempat investor asing yang paling banyak menanamkan dananya di Indonesia. Nilai investasi dari Negeri Sakura itu per semester I 2020 sebesar US$1,2 miliar.

Sementara, peringkat satu diduduki oleh Singapura dengan investasi sebesar US$4,7 miliar. Kemudian, China mencatatkan investasi sebesar US$2,4 miliar, Hong Kong US$1,8 miliar, dan Malaysia US$800 juta.

Secara keseluruhan, realisasi investasi yang masuk ke Indonesia sebesar Rp402,6 triliun pada semester I 2020. Jumlah tersebut baru 49,3 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp817,2 triliun.

Investasi itu terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp207 triliun atau 51.4 persen dari target dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp195,6 triliun atau 48,6 persen dari target. Realisasi PMDN naik 13,2 persen, sedangkan PMA turun 8,1 persen.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY