Dilema BPKH Kelola Ratusan Triliun Dana Haji, Rugi Kena Sanksi

0

Pelita.Online

Jakarta, CNN Indonesia — Ramai usulan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) sebesar Rp69 juta yang harus dibayarkan calon jemaah 2023 membuat publik bertanya-tanya mengenai pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Padahal, BPKH mengklaim dana yang dikelola mencapai Rp166 triliun per akhir 2022. Angka ini merupakan akumulasi antara dana setoran awal calon jemaah, dana abadi umat, dan nilai manfaat atau imbal hasil dari investasi yang dilakukan.

Sebelum BPKH berdiri, dana ini dikelola oleh Kementerian Agama. Namun, sejak keluarnya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2017, BPKH berwenang mengelola dana tersebut dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri.

Mengutip buku “Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH” (2020), lembaga ini mulai mengelola dana haji pada awal 2018 dengan modal Rp105,18 triliun. Angka tersebut berasal dari 4,2 juta calon jemaah yang memberikan setoran awal senilai Rp25 juta.

Berbekal dana tersebut dan mengacu pada PP No 5/2018, BPKH meletakkan investasi pada sukuk (20 persen), emas (5 persen), investasi langsung (15 persen), dan investasi lainnya (10 persen). Sedangkan, 50 persen lainnya diletakkan pada deposito perbankan syariah.

Pilihan investasi ini jauh lebih beragam ketimbang tahun sebelumnya. Kala itu, investasi hanya diletakkan pada sukuk sebesar 35 persen dan sisanya berada di deposito perbankan syariah.

Dilansir dari laporan tahunan BPKH, secara berurutan sepanjang 2017-2018, lembaga ini mendapatkan imbal hasil dari investasi sebesar Rp4,7 triliun dan Rp5,7 triliun.

Kemudian, pada 2019-2020, imbal hasil yang didapatkan BPKH adalah Rp7,37 triliun dan Rp7,43 triliun.

Sepanjang 2020, BPKH mengubah pilihan komposisi investasinya dengan 35 persen sukuk, lima persen investasi emas, 20 persen investasi langsung, dan 10 persen investasi lainnya. Saat itu, hanya tersisa 30 persen saja yang diletakkan di deposito perbankan syariah.

Ketika pandemi berlangsung pada 2021, Kerajaan Arab Saudi memutuskan tidak menerima jemaah haji dari luar negeri. Hal ini membuat BPKH memiliki tabungan nilai manfaat sebesar Rp10,52 triliun.

Tahun lalu, imbal hasil ini menurun menjadi Rp10,08 triliun. Artinya, nilai manfaat yang dihasilkan dari investasi BPKH sebesar 6,2 persen.

Nilai manfaat investasi yang pertumbuhannya masih satu digit itu digunakan BPKH untuk mengurangi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sehingga biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang ditanggung jamaan menjadi lebih ringan.

Khusus tahun ini, Kementerian Agama mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2023 sebesar 98,9 juta. Sebanyak 70 persen dari biaya tersebut ditanggung jemaah dan 30 persen sisanya diambil dari nilai manfaat yang dihasilkan BPKH.

Artinya, dari usulan itu, porsi biaya yang ditanggung nilai manfaat tahun ini hanya setengah dari tahun lalu yang mencapai 59 persen atau Rp5,47 triliun.

Penyaluran nilai manfaat sendiri tidak hanya diberikan kepada jemaah tahun berjalan atau dalam komponen BPIH, tetapi juga kepada jemaah tunggu melalui virtual account (VA). Besaran yang diberikan pun sesuai dengan keputusan antara pemerintah dan DPR.

Untuk jemaah tunggu, BPKH mendistribusikan nilai manfaat pada 2018 sebesar Rp773 miliar; 2019 sebesar 1,08 triliun; 2020 sebesar Rp2 triliun, 2021 sebesar Rp2,5 triliun; dan 2022 sebesar Rp2,06 triliun.

Sementara untuk jemaah haji tahun berjalan, BPKH menyalurkan Rp6,54 triliun pada 2018; Rp6,81 triliun di 2019; dan Rp5,47 triliun pada 2022.

Aturan Rigid dan Klausul Tanggung Renteng
Anggota Badan Pelaksana Bidang Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Amri Yusuf mengungkapkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dalam mengatur investasi sangat rigid. Maklum, dana yang dikelola adalah dana publik.

Menurutnya, aturan ini tak salah. Mayoritas lembaga keuangan pengelola dana publik juga melakukan hak yang sama.

“Ini kan dana titipan orang banyak, sehingga harus hati-hati. Kita punya pengalaman dana publik yang dikelola Jiwasraya, dikelola Taspen, karena dikelola ugal-ugalan maka investasinya kan jeblok,” kata Amri kepada redaksi, Jumat (3/2) lalu.

Amri menerangkan prinsip investasi yang diusung BPKH adalah aman, hati-hati, mengutamakan nilai manfaat, transparan, akuntabel, dan syariah. Hal ini membuat BPKH serupa dengan BPJS yang mayoritas instrumen investasinya adalah fix income.
“Dia (BPKH) enggak boleh melakukan investasi dan mengabaikan kewajibannya. Dia harus memastikan investasinya aman untuk meng-cover liabilities-nya. Untuk mencari instrumen semacam itu, terbatas di pasar,” ucapnya.

Menurut Amri, aturan yang mengizinkan investasi langsung sebesar 20 persen ini tidak masuk akal jika dibarengi dengan klausul tanggung renteng yang tertuang dalam Pasal 53 UU 34/2014.

“Anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya,” demikian bunyi Pasal 53 (1) UU 34/2024.

Terlebih, dengan pengambilan keputusan yang melibatkan Dewan Pengawas (Dewas), BPKH tidak fleksibel.

Menurutnya, hal ini akan membuat lembaga keuangan publik dalam kondisi dilema antara mendapatkan keuntungan yang besar dengan prinsip kehati-hatian yang dijalankan.

“Aturan proses pengambilan keputusan BPKH harus mendapat approval dari Dewas. Beda dengan BPJS, BPJS itu direct investment yang kategori high risk hanya (diperbolehkan) 5 persen karena risikonya lumayan besar,” ungkapnya.

Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) Budi Prasetyo mengungkapkan terdapat beberapa alasan imbal hasil alias nilai manfaat yang didapatkan BPKH terhitung kecil.

Pertama, pilihan alternatif investasi cukup terbatas. Budi menilai jika risk appetite dan risk tolerance BPKH masih konservatif atau terlalu takut menanggung risiko, maka akan sulit mengoptimalkan nilai manfaat yang bisa diperoleh jangka panjang.

Kedua, mengamini Amri, terdapat klausul tanggung renteng untuk Anggota Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH jika terjadi kerugian pada investasi yang dipilih.

“Kalau kita lihat di uu ada risiko tanggung renteng yang membuat risiko besar sekali diemban BPKH, sehingga pengelolaannya cukup konservatif,” tutur Budi dalam seminar daring, Jumat pekan lalu.

Menurutnya, perlu dilakukan perubahan regulasi untuk mendukung kinerja investasi BPKH. Pasalnya, jika nilai manfaat dikelola dengan profesional, cukup agresif dengan risiko yang bisa di-manage, maka nilai manfaat yang diperoleh dapat lebih optimal.

Apalagi, dana instrumen investasi syariah secara umum tidak terdapat banyak pilihan. Akibatnya, BPKH yang memiliki profil kewajiban jangka panjang masih sangat terbatas dalam opsi investasinya.

“Kalau mau return tinggi, ada risiko yang harus dikelola dengan baik. Pengelolaan dana haji ini harus memperhatikan governance yang prudent, sehingga meski mengejar target return, tetapi risiko bisa di-manage,” ucapnya.
Selain itu, diperlukan alternatif kebijakan antara kuota haji dan persentase financial assistance yang diberikan kepada jemaah.

Ia berkaca kepada mekanisme Lembaga Tabungan Haji (LTH) Malaysia yang membagi calon jemaah pada kelompok 40B. Kelompok 40 persen terbawah ini nantinya mendapat nilai manfaat lebih besar dari yang lain. Artinya, tidak semua jemaah menanggung beban biaya yang sama.
Terlebih, dana haji yang dikelola BPKH juga memiliki risiko terpapar oleh nilai mata uang asing. Saat ini, BPIH dibayarkan dalam kurs riyal atau dolar Amerika Serikat (AS). Ditambah dengan keberadaan inflasi, nilai setoran awal yang diberikan calon jemaah semakin rentan terpapar risiko.

Guru Besar Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Muhammad Nur Rianto Al Arif juga menilai klausul soal tanggung renteng menyebabkan ketakutan bagi pengurus BPKH. Akibatnya, investasi yang dipilih pun cukup konservatif.

“Ilustrasinya, BPKH misalkan investasi ke 10 portofolio dan mampu menghasilkan nilai manfaat dua digit. Tapi jika ada 1 atau 2 portofolio saja yang rugi, maka BPKH harus tanggungrenteng,” kata Arif ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (27/1) lalu.

Bahkan, senada dengan Budi, pejabat BPKH periode pertama dinilai risk averse atau cenderung menghindari risiko. Hal ini menyebabkan BPKH cenderung mendapatkan dana pada pos aman.

Secara jangka panjang, BPKH perlu menghitung net present value (NPV) atas penempatan dana yang telah dilakukan. Discount factor yang perlu masuk perhitungan ialah suku bunga secured overnight financing rate (SOFR) pengganti Libor dan tingkat inflasi di Arab Saudi.

Arif menilai variabel dari faktor eksternal ini perlu digunakan sebab alokasi hasil kelolaan dana haji untuk menyelenggarakan ibadah haji di Saudi.

“BPKH harus bermain lebih agresif dengan berani menempatkan dana efek-efek syariah yang dapat memberikan return lebih tinggi, selain penempatan dana pada surat berharga syariah baik yang diterbitkan pemerintah maupun Bank Indonesia,” paparnya.

Menurut Arif, profil risiko BPKH harus segera bergeser dari penghindar menjadi pengambil risiko yang moderat. Selain itu, BPKH harus berani melakukan investasi riil pada berbagai sarana dan prasarana pelaksanaan ibadah haji.

Investasi riil ini misalnya pemondokan, bus jemaah, dan katering dapat dilakukan BPKH untuk melindung nilai biaya penyelenggaraan ibadah haji (cost hedging).
Langkah lain yang penting dilakukan BPKH adalah membentuk ekosistem haji dengan stakeholder lain seperti Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag.

Nantinya, kerja sama berbagai lembaga lain ini dapat mendorong pengelolaan aset-aset yang telah diinvestasikan BPKH.

Sinergi BPKH, Ditjen PHU, dan stakeholder lain akan membentuk ekosistem haji yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat. Tak hanya berupa nilai materi, tetapi juga bentuk lainnya.

“Maka itu, BPKH harus berkoordinasi efektif dengan Badan Pemeriksa Keuangan maupun aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Ini untuk memitigasi risiko hukum atas penempatan dan investasi dana,” tegas Arif.

Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis mengungkapkan BPKH dibentuk untuk mengelola dana haji agar mendapatkan imbal hasil yang lebih kompetitif. Untuk itu, keputusan menginvestasikan 70 persen dana haji pada sukuk dianggap terlalu mudah.

“Kalau selama ini dia hanya investasi ke Surat Utang Negara (SUN), itu kan tidak sulit. Untuk apa ada badan kalau cuma investasi ke SUN? Dengan dibuat badan ini kan dia ada ahli investasi, ahli risiko, ada manajer investasi, supaya mendapat hasil kompetitif,” kata Iskan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (2/2) lalu.

Iskan pun memandang target imbal hasil Rp10 triliun per tahun yang ditetapkan oleh BPKH terlalu kecil. Seharusnya, dengan persentase investasi langsung 20 persen atau sekitar Rp30-Rp40 triliun, imbal hasil yang didapat akan jauh lebih besar.

“Kalau dia cuma investasi langsung Rp1 triliun kan kecil banget, tidak seimbang dengan dia sebagai badan kan dia harusnya punya sistem,” tutur Iskan.

Tak hanya itu, Iskan melihat BPKH juga memiliki ketakutan berlebihan terhadap klausul tanggung renteng.

Ia menilai jika investasi yang dilakukan sudah menunaikan prinsip-prinsip prudent tidak akan membuat masalah. Kalaupun terjadi kerugian karena faktor global atau lainnya, selama bukan akibat moral hazard, Iskan menilai tidak akan ada masalah.

Namun demikian, ia mengakui pihaknya berencana untuk mencabut klausul tanggung renteng tahun ini.

“Klausul tanggung renteng ini juga rencananya akan kita cabut ya, sebetulnya memang agak aneh ada klausul ini, yang penting kan dia melakukan good governance, pengelolaan yang benar, yang prudent, perangkat-perangkatnya kan sudah ada. Selama tidak melakukan moral hazard kan sudah prudent,” paparnya.

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY