Pak Harto yang Fenomenal di Pasar Klewer

0

Pada 9 Juni 1971, Presiden Soeharto membuka monumen Pasarean Ageng, dimana terdapat sebuah inskripsi dari Sri Mangkunegoro I yang oleh pemerintahan kolonial Belanda dijuluki “Pangeran Sambernyawa”. Inskripsi itu berisi dedikasi Sri Mangkunegoro 1 kepada rakyatnya. Dikenal dengan Tri Dharma atau tiga komitmen. Rumongso melu handarbeni bermakna rasa memiliki terhadap masyarakat. Wajib melu hangrungkebi merujuk kepada kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan masyarakat, dan mulat satria hangrasawani, yang berarti berani merasakan dan melihat diri sendiri. Ketiga prinsip tersebut merupakan kebijaksanaan leluhur Jawa yang melandasai kepemimpinan Pak Harto.

Salah satu kemampuan luar biasa yang dimiliki Pak Harto dia tunjukkan saat berpidato tanpa teks pada pembukaan Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, selepas peresmian monumen Pasarean Ageng. Pemilihan Umum akan berlangsung pada 3 Juli 1971, atau kurang dari sebulan kemudian. Inilah Pemilu pertama setelah Pak Harto menjadi Presiden.

Pidato di Pasar Klewer itu menunjukkan kemampuan Pak Harto dalam memformulasikan kebijakan meski pidato itu tidak dipersiapkan sama sekali. Banyak ahli menilai pidato itu sebagai salah satu komunikasi terbaik Pak Harto kepada rakyat selama menjadi Presiden. Pak Harto mengilustrasikan rencana pembangunan ekonominya yang akan menjadi dasar bagi kemajuan negara.

Waktu dan tempatnya pun pas. Saat itu MPRS belum berhasil menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menjadi pedoman pemerintah. Pemikiran Pak Harto di Pasar Klewer inilah yang kemudian dirumuskan dan dijadikan konsep GBHN yang diajukan di dalam Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1971. Lalu tempatnya, Pasar Klewer (yang kemudian menjadi pasar batik terbesar di Asia Tenggara) adalah simbol kegiatan ekonomi akar-rumput yang seharusnya menjadi pondasi pembangunan ekonomi bangsa. Terlebih batik—dan tekstil—adalah kebutuhan utama kedua rakyat setelah pangan.

Bagi Pak Harto, Pasar Klewer juga menjadi simbol bagaimana demokrasi ekonomi berlangsung. Pasar menjadi penyeimbang antara kebutuhan penjual untuk memperoleh keuntungan dan kepentingan konsumen untuk mendapatkan harga yang wajar dan adil. Setiap komponen dalam demokrasi ekonomi harus bekerja sama tanpa harus menjadi beban bagi satu sama lain. Dan di Pasar Klewer, baik penjual maupun pembeli akan secara wajar menentukan harga jual dan beli.

Dalam pidatonya di Pasar Klewer, Pak Harto menekankan pentingnya menyeimbangkan antara pertanian dan industri. Karena itu dalam jangka panjang, kata Pak Harto, industri yang mendukung pertanian. Di sinilah, lahir Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). “Pidato saya itu ditanggapi oleh pembantu-pembantu saya sebagai tonggak sejarah yang penting. Pidato saya itu merupakan dasar politik pembangunan kita,” kata Pak Harto seperti dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.

Setiap tahapan dirancang dan dirumuskan penuh perhitungan sehingga bisa menjadi platform yang mendukung pertumbuhan ekonomi tahap demi tahap. Pembangunan pertanian tidak terlalu sulit karena negeri ini sedikit banyak telah memiliki infrastrukturnya. Namun, untuk industrialisasi, infrastruktur masih sangat kurang. Devisa juga dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri. Pada saat yang sama, pembangunan industri mensyaratkan modal, tak hanya dari dalam negeri tapi juga dalam bentuk devisa untuk mengimpor mesin dan alat-alat produksi.

Menurut Pak Harto, karena setiap tahapan membutuhkan waktu lima tahun, maka pembangunan jangka panjang Indonesia akan membutuhkan 20 hingga 25 tahun. Pak Harto juga mengatakan pinjaman luar negeri yang didapatkan hanya boleh digunakan untuk biaya pembangunan, bukan untuk belanja rutin. Dia memperingatkan kesalahan masa lalu dimana utang digunakan untuk membiayai konsumsi.

Di Pasar Klewer ini juga, Pak Harto menegaskan pentingnya menjaga kepentingan nasional. Pak Harto dengan tegas menolak setiap kekerasan atas nama agama. Indonesia, katanya, bukan negara sekuler tapi bukan pula negara teokratis. Indonesia berdasarkan Pancasila. Karena itu, dia menyeru kepada rakyat agar berjihad bersama ABRI untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Jihad yang dimaksud Pak Harto adalah perjuangan, bukan peperangan demi kepentingan politik praktis. Pak Harto juga membantah tuduhan bahwa dia akan menggunakan Pemilu 1971 sebagai kamuflase yang akan menjadikan dia sebagai presiden seumur hidup. Dia menegaskan bahwa kepemimpinan nasional harus diisi melalui proses Pemilu setiap lima tahun sekali.

LEAVE A REPLY