Peneliti Soroti Pengaruh Partai Politik Terhadap Demokrasi di Indonesia

0

Pelita.online – Sejumlah peneliti alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyoroti efek dari keberadaan partai politik terhadap demokrasi di Indonesia. Bahkan, peneliti menyebut partai politik saat ini telah membajak demokrasi di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Dewan Penasihat PPIM UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam Diskusi Virtual Bersama Alumni HMI bertema “Quo Vadis Demokrasi Indonesia”. Dalam pemaparannya, Komaruddin terlebih dahulu menjelaskan seberapa berkuasanya parpol khususnya di Negara Indonesia.

“Sekarang ini yang kuasa itukan parpol. Yang lahirkan ekskutif parpol, legislatif parpol. Sementara kita tahu semua parpol itu kebayakan nggak punya akar, politik mahal, duit tidak punya sementara ada juga tidak punya SDM yang qualified tapi mereka menikmati, sekarang menikmati dengan adanya kandidasi yang maju, jual saja perahu atau boarding pass dan dia kaya sekali,” kata Komaruddin pada Minggu (13/12/2020).

Komaruddin menyebut parpol seringkali gagal dalam menyalurkan makna dari demokrasi. Mengingat, parpol memiliki tujuan tersendiri. Parpol kerap mendapatkan keinginannya dengan mengandalkan uang maupun kekuasaan.

“Tapi yang dikritik sebelumnya tadi, dia (parpol) membajak demokrasi. Demokrasi itu kan tujuannya dua yang nonjol, satu mendidik rakyat partisipasi. Kedua, berhasil rakyat akan melek demokrasi. Sekarang ini pendidikan demokrasi dengan kesadaran itu cukup berhasil tapi kemudian ketika itu tidak di bawa dengan parpol yang sehat maka yang ada kemudian caci maki bahwa ini demokrasi. Karena parpol itu gagal menangkap menyalurkan itu,” tegasnya.

Lantas, apakah benar parpol atau elite politik menjadi penyebab utama menurunnya demokrasi di Indonesia? Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi memparkan hasil survei yang dilakukan oleh LSI Bersama Asian Barometer dan ISEAS-Yusof pada tahun 2016-2017.

Survey pertama dilakukan terhadap 508 responden yang merupakan anggota DPRD di Indonesia dan masyarakat biasa atau publik. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara atau tanya jawab.

Para responden diberikan pertanyaan diantaranya ‘Apakah elite politik itu lebih orotier ketimbang publik?’,’Bagaimana elite politik dan publik memahami demokrasi?’ serta ‘Apakah sikap antidemokrasi terdistribusi pada seluruh elite politik atau ada perbedaan?’

Melalui hasil survei ini, Burhanuddin mengindikasi terdapat acara pandang yang berbeda antara elite politik dan publik dalam memaknai demokrasi. Di sisi lain, elite politik tak selalu menjadi biang kerok terjadinya regresi demokrasi.

“Argument selama ini menyatakan bahwa rekresi demokrasi kerjaan elit tidak seluruhnya benar. Dalam banyak hal publik juga kontribusi terhadap maraknya pengunduran demokrasi. Saya punya studi terkait publik kita bukan hanya illiberal tapi punya masalah serius misalnya studi menunjukkan publik mudah terkena hoax kemudian politik uang yang marak. Itu adalah fenomena illiberalisme demokrasi di kalangan warga jadi yang kebetulan dimanfaatkan oleh politik kita,” ucapnya.

“Kesimpulan kedua dengan studi ini saya tidak ingin mengatakan elite politik kita bersih dari penyakit anti demokrasi, yang ingin saya katakan yang paling bertanggung jawab terhadap rekresi demokrasi tapi di sisi lain kita punya PR tak mudah karena warga kita harapkan sebagai penantang atau sebagai pihak menghentikan justru turut menyumbang maraknya sekresi demokrasi,” sambungnya.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY