Otak-atik Amandemen UUD 1945 dalam Kacamata Hukum Tata Negara

0

Pelita.online – MPR 2014-2019 mengamanatkan MPR 2019-2024 melakukan amandemen terbatas UUD 1945. Dalam kacamata hukum tata negara, sudah saatnya UUD 1945 diamandemen untuk kelima kalinya.

“UUD NRI 1945 hasil amandemen merupakan karya bangsa Indonesia yang dalam proses pembentukannya sudah barang tentu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang pada saat itu. Hingga tahun 2019 ini UUD 1945 hasil amandemen sudah hampir 20 tahun menjadi dasar penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan RI dan selama masa tersebut ide, gagasan serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat juga telah mengalami perubahan,” kata pakar hukum tata negara Prof Dr M Fauzan kepada detikcom, Minggu (13/10/2019).

Menurut M Fauzan, MPR sekarang memang bukan sebagai lembaga tertinggi negara. Melainkan sebagai lembaga negara dengan kewenangan tertinggi, yakni berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Jika dilihat dari keanggotaannya, MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Dengan demikian MPR merupakan lembaga yang paling representatif mewakili rakyat, di samping tentunya lembaga kepresidenan yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

“Saya membayangkan ke depan MPR diberikan kembali kewenangan untuk menetapkan haluan negara sebagai pedoman arah perjalanan Bangsa Indonesia pada masa yang akan datang,” ujar guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah itu.

Bagi yang menolak adanya haluan negara, M Fauzan melihat karena hakikat haluan negara sudah terdapat dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Namun, UU tersebut hanya dihasilkan dari ‘kerja sama’ antara dua lembaga negara yakni DPR dan presiden, sehingga tidak ada keterlibatan lembaga yang juga memiliki tingkat representasi rakyat tinggi, yakni DPD.

“Pada masa yang akan datang saya berfikir RPJPN yang substansinya seperti Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada masa Orde Baru , bukan lagi dibuat dalam bentuk UU, melainkan dibuat dalam bentuk produk hukum Ketetapan MPR yang dalam pembentukannya melibatkan 3 lembaga negara, yakni DPR dan DPD yang tergabung dalam MPR serta Presiden,” papar Ketua Harian Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Tengah itu.

Dengan demikian, tegas Fauzan, amandemen kelima UUD 1945 perlu menambah kewenangan MPR, yakni menetapkan GBHN. Jika terminologi ‘Haluan Negara’ dipandang tidak tepat karena ‘berbau’ Orde Baru, maka bisa diganti dengan terminologi RPJPN atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) atau dengan istilan lainnya.

“Yang jelas ‘mimpi’ bangsa Indonesia ke depan harus sudah bisa ditentukan, sehingga siapapun Presiden pada masa yang akan datang, kebijakan yang diambil akan terus berkelanjutan sesuai dengan Haluan Negara atau RPJPN atau PPHN,” cetus M Fauzan.

Poin amandemen lainnya adalah ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa:

Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Faknyanya, Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan umum Tahun 2004, Tahun 2009 dan Tahun 2014 ‘hanya’ mengucapkan sumpah di depan Sidang Umum MPR.

“Pengambilan sumpah dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung , bukan oleh Ketua MPR yang merepresentasikan lembaga MPR,” kata M Fauzan.

Terakhir, hal lain yang perlu dikaji kembali adalah berkaitan dengan kewenangan menguji (toetsingsrecht) peraturan perundangan. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan ada pada Mahkamah Agung (MA) untuk peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, dan pada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji UU terhadap UUD 1945.

“Ke depan saya mengusulkan sistem perngujian perundang-undangan satu atap, yakni di bawah MK. Hal tersebut untuk memastikan terwujudnya sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara komprehensif,” kata M Fauzan.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY